Selasa, 16 Mei 2017

Khalid bin Walid, Pedang Allah




Pada zaman pemerintahan Khalifah Syaidina Umar bin Khatab, ada seorang panglima perang yang disegani lawan dan dicintai kawan. Panglima perang yang tak pernah kalah sepanjang karirnya memimpin tentara di medan perang. Baik pada saat beliau masih menjadi panglima Quraish, maupun setelah beliau masuk Islam dan menjadi panglima perang umat muslim. Beliau adalah Jenderal Khalid bin Walid.

Namanya harum dimana-mana. Semua orang memujinya dan mengelu-elukannya. Kemana beliau pergi selalu disambut dengan teriakan, “Hidup Khalid, hidup Jenderal, hidup Panglima Perang, hidup Pedang Allah yang Terhunus.” Ya! beliau mendapat gelar langsung dari Rasulullah SAW yang menyebutnya sebagai Pedang Allah yang Terhunus.

Dalam suatu peperangan beliau pernah mengalahkan pasukan tentara Byzantium dengan jumlah pasukan 240.000. Padahal pasukan muslim yang dipimpinnya saat itu hanya berjumlah 46.000 orang. Dengan kejeliannya mengatur strategi, pertempuran itu bisa dimenangkannya dengan mudah. Pasukan musuh lari terbirit-birit.

Itulah Khalid bin Walid, beliau bahkan tak gentar sedikitpun menghadapi lawan yang jauh lebih banyak.

Ada satu kisah menarik dari Khalid bin Walid. Dia memang sangat sempurna di bidangnya; ahli siasat perang, mahir segala senjata, piawai dalam berkuda, dan karismatik di tengah prajuritnya. Dia juga tidak sombong dan lapang dada walaupun dia berada dalam puncak popularitas.

Pada suatu ketika, di saat beliau sedang berada di garis depan, memimpin peperangan, tiba-tiba datang seorang utusan dari Amirul mukminin, Syaidina Umar bin Khatab, yang mengantarkan sebuah surat. Di dalam surat tersebut tertulis pesan singkat, “Dengan ini saya nyatakan Jenderal Khalid bin Walid di pecat sebagai panglima perang. Segera menghadap!”

Menerima khabar tersebut tentu saja sang jenderal sangat gusar hingga tak bisa tidur. Beliau terus-menerus memikirkan alasan pemecatannya. Kesalahan apa yang telah saya lakukan? Kira-kira begitulah yang berkecamuk di dalam pikiran beliau kala itu.

Sebagai prajurit yang baik, taat pada atasan, beliaupun segera bersiap menghadap Khalifah Umar Bin Khatab. Sebelum berangkat beliau menyerahkan komando perang kepada penggantinya.

Sesampai di depan Umar beliau memberikan salam, “Assalamualaikum ya Amirul mukminin! Langsung saja! Saya menerima surat pemecatan. Apa betul saya di pecat?”

Walaikumsalam warahmatullah! Betul Khalid!” Jawab Khalifah.

“Kalau masalah dipecat itu hak Anda sebagai pemimpin. Tapi, kalau boleh tahu, kesalahan saya apa?”

“Kamu tidak punya kesalahan.”

“Kalu tidak punya kesalahan kenapa saya dipecat? Apa saya tak mampu menjadi panglima?”

“Pada zaman ini kamu adalah panglima terbaik.”

“Lalu kenapa saya dipecat?” tanya Jenderal Khalid yang tak bisa menahan rasa penasarannya.

Dengan tenang Khalifah Umar bin Khatab menjawab, “Khalid, Anda itu jenderal terbaik, panglima perang terhebat. Ratusan peperangan telah Anda pimpin, dan tak pernah satu kalipun Anda kalah. Setiap hari Masyarakat dan prajurit selalu menyanjung Anda. Tak pernah saya mendengar orang menjelek-jelekkan Anda. Tapi, ingat Khalid, Anda juga adalah manusia biasa. Terlalu banyak orang yang memuji bukan tidak mungkin akan timbul rasa sombong dalam hatimu. Sedangkan Allah sangat membenci orang yang memiliki rasa sombong. Seberat debu rasa sombong di dalam hati maka neraka jahanamlah tempatmu. Karena itu, maafkan aku wahai saudaraku, untuk menjagamu terpaksa saat ini Anda saya pecat. Supaya Anda tahu, jangankan di hadapan Allah, di depan Umar saja Anda tak bisa berbuat apa-apa!”

Mendengar jawaban itu, Jenderal Khalid tertegun, bergetar, dan goyah. Dan dengan segenap kekuatan yang Ada beliau langsung mendekap Khalifah Umar. Sambil menangis belaiu berbisik, “Terima kasih ya Khalifah. Engkau saudaraku!”

Bayangkan Sahabat Populer, jenderal mana yang berlaku mulia seperti itu? Mengucapkan terima kasih setelah dipecat. Padahal beliau tak berbuat kesalahan apapun. Adakah jenderal yang mampu berlaku mulia seperti itu saat ini?

Hebatnya lagi, setelah dipecat beliau balik lagi ke medan perang. Tapi, tidak lagi sebagai panglima perang. Beliau bertempur sebagai prajurit biasa, sebagai bawahan, dipimpin oleh mantan bawahannya kemaren.

Beberapa orang prajurit terheran-heran melihat mantan panglima yang gagah berani tersebut masih mau ikut ambil bagian dalam peperangan. Padahal sudah dipecat. Lalu, ada diantara mereka yang bertanya, “Ya Jenderal, mengapa Anda masih mau berperang? Padahal Anda sudah dipecat.”

Dengan tenang Khalid bin Walin menjawab, “Saya berperang bukan karena jabatan, popularitas, bukan juga karena Khalifah Umar. Saya berperang semata-mata karena mencari keridhaan Allah.”

Sultan Salahuddin Al-Ayyuby, Penakluk Yerusalem

 
Shalahuddin Al-Ayyubi sebenarnya hanya nama julukan dari Yusuf bin Najmuddin. Shalahuddin merupakan nama gelarnya, sedangkan al-Ayyubi nisbah keluarganya. Beliau sendiri dilahirkan pada tahun 532 H/ 1138 M di Tikrit, sebuah wilayah Kurdi di utara Iraq. Sejak kecil Shalahuddin sudah mengenal kerasnya kehidupan.

Pada usia 14 tahun, Shalahuddin ikut kaum kerabatnya ke Damaskus, menjadi tentara Sultan Nuruddin, penguasa Suriah waktu itu. Karenan memang pemberani, pangkatnya naik setelah tentara Zangi yang dipimpin oleh pamannya sendiri, Shirkuh, berhasil memukul mundur pasukan Salib (crusaders) dari perbatasan Mesir dalam serangkaian pertempuran.
Pada tahun 1169, Shalahuddin diangkat menjadi panglima dan gubernur (wazir) menggantikan pamannya yang wafat. Setelah berhasil mengadakan pemulihan dan penataan kembali sistem perekonomian dan pertahanan Mesir, Shalahuddin mulai menyusun strateginya untuk membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman tentara Salib.
Shalahuddin terkenal sebagai penguasa yang menunaikan kebenaran—bahkan memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Tepat pada bulan September 1174, Shalahuddin menekan penguasa Dinasti Fatimiyyah supaya tunduk dan patuh pada Khalifah Daulat Abbasiyyah di Baghdad. Belom cukup sampai di situ, tiga tahun kemudian, sesudah kematian Sultan Nuruddin, Shalahuddin melebarkan sayap kekuasaannya ke Suriah dan utara Mesopotamia.
Satu persatu wilayah penting berhasil dikuasinya: Damaskus (pada tahun 1174), Aleppo atau Halb (1138) dan Mosul (1186). Sebagaimana diketahui, berkat perjanjian yang ditandatangani oleh Khalifah Umar bin Khattab dan Uskup Sophronius menyusul jatuhnya Antioch, Damaskus, dan Yerusalem pada tahun 636 M, orang-orang Islam, Yahudi dan Nasrani hidup rukun dan damai di Suriah dan Palestina.
Mereka bebas dan aman menjalankan ajaran agama masing-masing di kota suci tersebut. Perang SalibNamun kerukunan yang telah berlangsung selama lebih 460 tahun itu kemudian porak-poranda akibat berbagai hasutan dan fitnah yang digembar-gemborkan oleh seorang patriarch bernama Ermite.
Provokator ini berhasil mengobarkan semangat Paus Urbanus yang lantas mengirim ratusan ribu orang ke Yerusalem untuk Perang Salib Pertama. Kota suci ini berhasil mereka rebut pada tahun 1099.
Ratusan ribu orang Islam dibunuh dengan kejam dan biadab, sebagaimana mereka akui sendiri: “In Solomon’s Porch and in his temple, our men rode in the blood of the Saracens up to the knees of their horses.” Menyadari betapa pentingnya kedudukan Baitul Maqdis bagi ummat Islam dan mendengar kezaliman orang-orang Kristen di sana, maka pada tahun 1187 Shalahuddin memimpin serangan ke Yerusalem. Orang Kristen mencatatnya sebagai Perang Salib ke-2.
Pasukan Shalahuddin berhasil mengalahkan tentara Kristen dalam sebuah pertempuran sengit di Hittin, Galilee pada 4 July 1187. Dua bulan kemudian (Oktober tahun yang sama), Baitul Maqdis berhasil direbut kembali.
Berita jatuhnya Yerusalem menggegerkan seluruh dunia Kristen dan Eropa khususnya. Pada tahun 1189 tentara Kristen melancarkan serangan balik (Perang Salib ke-3), dipimpin langsung oleh Kaisar Jerman Frederick Barbarossa, Raja Prancis Philip Augustus dan Raja Inggris Richard ‘the Lion Heart’. Perang berlangsung cukup lama. Baitul Maqdis berhasil dipertahankan, dan gencatan senjata akhirnya disepakati oleh kedua-belah pihak.
Pada tahun 1192 Shalahuddin dan Raja Richard menandatangani perjanjian damai yang isinya membagi wilayah Palestina menjadi dua: daerah pesisir Laut Tengah bagi orang Kristen, sedangkan daerah perkotaan untuk orang Islam; namun demikian kedua-belah pihak boleh berkunjung ke daerah lain dengan aman.
Setahun kemudian, tepatnya pada 4 Maret 1193, Shalahuddin menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ketika meninggal dunia di Damaskus, Shalahuddin tidak memiliki harta benda yang berarti. Padahal beliau adalah seorang pemimpin. Tapi hal baik yang ditinggalkan oleh orang baik selalu akan menjadi bagian kehidupan selamanya.
Kontribusinya buat Islam sungguh tidak pernah bisa diukur dengan apapun di dunia ini. Parcel untuk MusuhBanyak kisah-kisah unik dan menarik seputar Shalahuddin al-Ayyubi yang layak dijadikan teladan, terutama sikap ksatria dan kemuliaan hatinya. Di tengah suasana perang, ia berkali-kali mengirimkan es dan buah-buahan untuk Raja Richard yang saat itu jatuh sakit.
Ketika menaklukkan Kairo, ia tidak serta-merta mengusir keluarga Dinasti Fatimiyyah dari istana-istana mereka. Ia menunggu sampai raja mereka wafat, baru kemudian anggota keluarganya diantar ke tempat pengasingan mereka. Gerbang kota tempat benteng istana dibuka untuk umum. Rakyat dibolehkan tinggal di kawasan yang dahulunya khusus untuk para bangsawan Bani Fatimiyyah. Di Kairo, ia bukan hanya membangun masjid dan benteng, tapi juga sekolah, rumah-sakit dan bahkan gereja.
Shalahuddin juga dikenal sebagai orang yang saleh dan wara‘. Ia tidak pernah meninggalkan salat fardu dan gemar salat berjamaah. Bahkan ketika sakit keras pun ia tetap berpuasa, walaupun dokter menasihatinya supaya berbuka. “Aku tidak tahu bila ajal akan menemuiku,” katanya. Shalahuddin amat dekat dan sangat dicintai oleh rakyatnya. Ia menetapkan hari Senin dan Selasa sebagai waktu tatap muka dan menerima siapa saja yang memerlukan bantuannya. Ia tidak nepotis atau pilih kasih.
Pernah seorang lelaki mengadukan perihal keponakannya, Taqiyyuddin. Shalahuddin langsung memanggil anak saudaranya itu untuk dimintai keterangan. Pernah juga suatu kali ada yang membuat tuduhan kepadanya. Walaupun tuduhan tersebut terbukti tidak berdasar sama sekali, Shalahuddin tidak marah. Ia bahkan menghadiahkan orang yang menuduhnya itu sehelai jubah dan beberapa pemberian lain. Ia memang gemar menyedekahkan apa saja yang dimilikinya dan memberikan hadiah kepada orang lain, khususnya tamu-tamunya. Ia juga dikenal sangat lembut hati, bahkan kepada pelayannya sekalipun. Pernah ketika ia sangat kehausan dan minta dibawakan segelas air, pembantunya menyuguhkan air yang agak panas. Tanpa menunjukkan kemarahan ia terus meminumnya. Kezuhudan Shalahuddin tertuang dalam ucapannya yang selalu dikenang: “Ada orang yang baginya uang dan debu sama saja.” 

Sultan Muhammad Al-Fatih, Penakluk Konstantinopel

Muhammad al-Fatih adalah salah seorang raja atau sultan Kerajaan Utsmani yang paling terkenal. Ia merupakan sultan ketujuh dalam sejarah Bani Utsmaniah. Al-Fatih adalah gelar yang senantiasa melekat pada namanya karena dialah yang mengakhiri atau menaklukkan Kerajaan Romawi Timur yang telah berkuasa selama 11 abad.

Sultan Muhammad al-Fatih memerintah selama 30 tahun. Selain menaklukkan Binzantium, ia juga berhasil menaklukkan wilayah-wilayah di Asia, menyatukan kerajaan-kerajaan Anatolia dan wilayah-wilayah Eropa, dan termasuk jasanya yang paling penting adalah berhasil mengadaptasi menajemen Kerajaan Bizantium yang telah matang ke dalam Kerajaan Utsmani.

Karakter Pemimpin Yang Ditanamkan Sejak Kecil

Muhammad al-Fatih dilahirkan pada 27 Rajab 835 H/30 Maret 1432 M di Kota Erdine, ibu kota Daulah Utsmaniyah saat itu. Ia adalah putra dari Sultan Murad II yang merupakan raja keenam Daulah Utsmaniyah.

Sultan Murad II memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anaknya. Ia menempa buah hatinya agar kelak menjadi seorang pemimpin yang baik dan tangguh. Perhatian tersebut terlihat dari Muhammad kecil yang telah menyelesaikan hafalan Alquran 30 juz, mempelajari hadis-hadis, memahami ilmu fikih, belajar matematika, ilmu falak, dan strategi perang. Selain itu, Muhammad juga mempelajari berbagai bahasa, seperti: bahasa Arab, Persia, Latin, dan Yunani. Tidak heran, pada usia 21 tahun Muhammad sangat lancar berbahasa Arab, Turki, Persia, Ibrani, Latin, dan Yunani, luar biasa!

Walaupun usianya baru seumur jagung, sang ayah, Sultan Murad II, mengamanati Sultan Muhammad memimpin suatu daerah dengan bimbingan para ulama. Hal itu dilakukan sang ayah agar anaknya cepat menyadari bahwa dia memiliki tanggung jawab yang besar di kemudian hari. Bimbingan para ulama diharapkan menjadi kompas yang mengarahkan pemikiran anaknya agar sejalan dengan pemahaman Islam yang benar.

Menjadi Penguasa Utsmani

Sultan Muhammad II diangkat menjadi Khalifah Utsmaniyah pada tanggal 5 Muharam 855 H bersamaan dengan 7 Febuari 1451 M. Program besar yang langsung ia canangkan ketika menjabat sebagai khalifah adalah menaklukkan Konstantinopel.

Langkah pertama yang Sultan Muhammad lakukan untuk mewujudkan cita-citanya adalah melakukan kebijakan militer dan politik luar negeri yang strategis. Ia memperbarui perjanjian dan kesepakatan yang telah terjalin dengan negara-negara tetangga dan sekutu-sekutu militernya. Pengaturan ulang perjanjian tersebut bertujuan menghilangkan pengaruh Kerajaan Bizantium Romawi di wilayah-wilayah tetangga Utsmaniah baik secara politis maupun militer.

Menaklukkan Bizantium

Sultan Muhammad II juga menyiapkan lebih dari 4 juta prajurit yang akan mengepung Konstantinopel dari darat. Pada saat mengepung benteng Bizantium banyak pasukan Utsmani yang gugur karena kuatnya pertahanan benteng tersebut. Pengepungan yang berlangsung tidak kurang dari 50 hari itu, benar-benar menguji kesabaran pasukan Utsmani, menguras tenaga, pikiran, dan perbekalan mereka.

Pertahanan yang tangguh dari kerajaan besar Romawi ini terlihat sejak mula. Sebelum musuh mencapai benteng mereka, Bizantium telah memagari laut mereka dengan rantai yang membentang di semenanjung Tanduk Emas. Tidak mungkin bisa menyentuh benteng Bizantium kecuali dengan melintasi rantai tersebut.

Akhirnya Sultan Muhammad menemukan ide yang ia anggap merupakan satu-satunya cara agar bisa melewati pagar tersebut. Ide ini mirip dengan yang dilakukan oleh para pangeran Kiev yang menyerang Bizantium di abad ke-10, para pangeran Kiev menarik kapalnya keluar Selat Bosporus, mengelilingi Galata, dan meluncurkannya kembali di Tanduk Emas, akan tetapi pasukan mereka tetap dikalahkan oleh orang-orang Bizantium Romawi. Sultan Muhammad melakukannya dengan cara yang lebih cerdik lagi, ia menggandeng 70 kapalnya melintasi Galata ke muara setelah meminyaki batang-batang kayu. Hal itu dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, tidak sampai satu malam.

Di pagi hari, Bizantium kaget bukan kepalang, mereka sama sekali tidak mengira Sultan Muhammad dan pasukannya menyeberangkan kapal-kapal mereka lewat jalur darat. 70 kapal laut diseberangkan lewat jalur darat yang masih ditumbuhi pohon-pohon besar, menebangi pohon-pohonnya dan menyeberangkan kapal-kapal dalam waktu satu malam adalah suatu kemustahilan menurut mereka, akan tetapi itulah yang terjadi.

Tanduk Emas atau Golden Horn, di Istanbul, Turki.

Peperangan dahsyat pun terjadi, benteng yang tak tersentuh sebagai simbol kekuatan Bizantium itu akhirnya diserang oleh orang-orang yang tidak takut akan kematian. Akhirnya kerajaan besar yang berumur 11 abad itu jatuh ke tangan kaum muslimin. Peperangan besar itu mengakibatkan 265.000 pasukan umat Islam gugur. Pada tanggal 20 Jumadil Awal 857 H bersamaan dengan 29 Mei 1453 M, Sultan al-Ghazi Muhammad berhasil memasuki Kota Konstantinopel. Sejak saat itulah ia dikenal dengan nama Sultan Muhammad al-Fatih, penakluk Konstantinopel.

Saat memasuki Konstantinopel, Sultan Muhammad al-Fatih turun dari kudanya lalu sujud sebagai tanda syukur kepada Allah. Setelah itu, ia menuju Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan menggantinya menjadi masjid. Konstantinopel dijadikan sebagai ibu kota, pusat pemerintah Kerajaan Utsmani dan kota ini diganti namanya menjadi Islambul yang berarti negeri Islam, lau akhirnya mengalami perubahan menjadi Istanbul.

Selain itu, Sultan Muhammad al-Fatih juga memerintahkan untuk membangun masjid di makam sahabat yang mulia Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wafat saat menyerang Konstantinopel di zaman Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.

Apa yang dilakukan oleh Sultan Muhammad tentu saja bertentangan dengan syariat, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ.

“… Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat ibadah, tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.” (HR. HR. Muslim no.532)

Kekeliruan yang dilakukan oleh Sultan Muhammad tidak serta-merta membuat kita menafikan jasa-jasanya yang sangat besar. Semoga Allah mengampuni kesalahan dan kekhilafannya beliau rahimahullah.

Setelah itu rentetat penaklukkan strategis dilakukan oleh Sultan Muhammad al-Fatih; ia membawa pasukannya menkalukkan Balkan, Yunani, Rumania, Albania, Asia Kecil, dll. bahkan ia telah mempersiapkan pasukan dan mengatur strategi untuk menaklukkan kerajaan Romawi di Italia, akan tetapi kematian telah menghalanginya untuk mewujudkan hal itu.

Peradaban Yang Dibangun Pada Masanya

Selain terkenal sebagai jenderal perang dan berhasil memperluas kekuasaan Utsmani melebihi sultan-sultan lainnya, Muhammad al-Fatih juga dikenal sebagai seorang penyair. Ia memiliki diwan, kumpulan syair yang ia buat sendiri.

Sultan Muhammad juga membangun lebih dari 300 masjid, 57 sekolah, dan 59 tempat pemandian di berbagai wilayah Utsmani. Peninggalannya yang paling terkenal adalah Masjid Sultan Muhammad II dan Jami’ Abu Ayyub al-Anshari

Wafatnya Sang Penakluk

Pada bulan Rabiul Awal tahun 886 H/1481 M, Sultan Muhammad al-Fatih pergi dari Istanbul untuk berjihad, padahal ia sedang dalam kondisi tidak sehat. Di tengah perjalanan sakit yang ia derita kian parah dan semakin berat ia rasakan. Dokter pun didatangkan untuk mengobatinya, namun dokter dan obat tidak lagi bermanfaat bagi sang Sultan, ia pun wafat di tengah pasukannya pada hari Kamis, tanggal 4 Rabiul Awal 886 H/3 Mei 1481 M. Saat itu Sultan Muhammad berusia 52 tahun dan memerintah selama 31 tahun. Ada yang mengatakan wafatnya Sultan Muhammad al-Fatih karena diracuni oleh dokter pribadinya Ya’qub Basya, Allahu a’lam.

Tidak ada keterangan yang bisa dijadikan sandaran kemana Sultan Muhammad II hendak membawa pasukannya. Ada yang mengatakan beliau hendak menuju Itali untuk menaklukkan Roma ada juga yang mengatakan menuju Prancis atau Spanyol.

Sebelum wafat, Muhammad al-Fatih mewasiatkan kepada putra dan penerus tahtanya, Sultan Bayazid II agar senantiasa dekat dengan para ulama, berbuat adil, tidak tertipu dengan harta, dan benar-benar menjaga agama baik untuk pribadi, masyarakat, dan kerajaan.

Tariq bin Ziyad, Penakluk Spanyol

 Setelah Rasulullah saw. wafat, Islam menyebar dalam spektrum yang luas. Tiga benua lama -Asia, Afrika, dan Eropa-pernah merasakan rahmat dan keadilan dalam naungan pemerintahan Islam. Tidak terkecuali Spanyol (Andalusia). Ini negeri di daratan Eropa yang pertama kali masuk dalam pelukan Islam di zaman Pemerintahan Kekhalifahan Bani Umaiyah.
Sebelumnya, sejak tahun 597 M, Spanyol dikuasai bangsa Gotic, Jerman. Raja Roderick yang berkuasa saat itu. Ia berkuasa dengan lalim. Ia membagi masyarakat Spanyol ke dalam lima kelas sosial. Kelas pertama adalah keluarga raja, bangsawan, orang-orang kaya, tuan tanah, dan para penguasa wilayah. Kelas kedua diduduki para pendeta. Kelas ketiga diisi para pegawai negara seperti pengawal, penjaga istana, dan pegawai kantor pemerintahan. Mereka hidup pas-pasan dan diperalat penguasa sebagai alat memeras rakyat.
Kelas keempat adalah para petani, pedagang, dan kelompok masyarakat yang hidup cukup lainnya. Mereka dibebani pajak dan pungutan yang tinggi. Dan kelas kelima adalah para buruh tani, serdadu rendahan, pelayan, dan budak. Mereka paling menderita hidupnya.
Akibat klasifikasi sosial itu, rakyat Spanyol tidak kerasan. Sebagian besar mereka hijrah ke Afrika Utara. Di sini di bawah Pemerintahan Islam yang dipimpin Musa bin Nusair, mereka merasakan keadilan, kesamaan hak, keamanan, dan menikmati kemakmuran. Para imigran Spanyol itu kebanyakan beragama Yahudi dan Kristen. Bahkan, Gubernur Ceuta, bernama Julian, dan putrinya Florinda -yang dinodai Roderick-ikut mengungsi.
Melihat kezaliman itu, Musa bin Nusair berencana ingin membebaskan rakyat Spanyol sekaligus menyampaikan Islam ke negeri itu. Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik memberi izin. Musa segera mengirim Abu Zar’ah dengan 400 pasukan pejalan kaki dan 100 orang pasukan berkuda menyeberangi selat antara Afrika Utara dan daratan Eropa.
Kamis, 4 Ramadhan 91 Hijriah atau 2 April 710 Masehi, Abu Zar’ah meninggalkan Afrika Utara menggunakan 8 kapal dimana 4 buah adalah pemberian Gubernur Julian. Tanggal 25 Ramadhan 91 H atau 23 April 710 H, di malam hari pasukan ini mendarat di sebuah pulau kecil dekat Kota Tarife yang menjadi sasaran serangan pertama.
Di petang harinya, pasukan ini berhasil menaklukan beberapa kota di sepanjang pantai tanpa perlawanan yang berarti. Padahal jumlah pasukan Abu Zar’ah kalah banyak. Setelah penaklukan ini, Abu Zar’ah pulang. Keberhasilan ekspedisi Abu Zar’ah ini membangkitkan semangat Musa bin Nusair untuk menaklukan seluruh Spanyol. Maka, ia memerintahkan Thariq bin Ziyad membawa pasukan untuk penaklukan yang kedua.
Thariq bin Ziyad bin Abdullah bin Walgho bin Walfajun bin Niber Ghasin bin Walhas bin Yathufat bin Nafzau adalah putra suku Ash-Shadaf, suku Barbar, penduduk asli daerah Al-Atlas, Afrika Utara. Ia lahir sekitar tahun 50 Hijriah. Ia ahli menunggang kuda, menggunakan senjata, dan ilmu bela diri.
Senin, 3 Mei 711 M, Thariq membawa 70.000 pasukannya menyeberang ke daratan Eropa dengan kapal. Sesampai di pantai wilayah Spanyol, ia mengumpulkan pasukannya di sebuah bukit karang yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar -diambil dari bahasa Arab “Jabal Thariq”, Bukit Thariq. Lalu ia memerintahkan pasukannya membakar semua armada kapal yang mereka miliki.
Pasukannya kaget. Mereka bertanya, “Apa maksud Anda?” “Kalau kapal-kapal itu dibakar, bagaimana nanti kita bisa pulang?” tanya yang lain.
Dengan pedang terhunus dan kalimat tegas, Thariq berkata, “Kita datang ke sini bukan untuk kembali. Kita hanya memiliki dua pilihan: menaklukkan negeri ini lalu tinggal di sini atau kita semua binasa!”
Kini pasukannya paham. Mereka menyambut panggilan jihad Panglima Perang mereka itu dengan semangat berkobar.
Lalu Thariq melanjutkan briefingnya. “Wahai seluruh pasukan, kalau sudah begini ke mana lagi kalian akan lari? Di belakang kalian ada laut dan di depan kalian ada musuh. Demi Allah swt., satu-satunya milik kalian saat ini hanyalah kejujuran dan kesabaran. Hanya itu yang dapat kalian andalkan.
Musuh dengan jumlah pasukan yang besar dan persenjataan yang lengkap telah siap menyongsong kalian. Sementara senjata kalian hanyalah pedang. Kalian akan terbantu jika kalian berhasil merebut senjata dan perlengkapan musuh kalian. Karena itu, secepatnya kalian harus bisa melumpuhkan mereka. Sebab kalau tidak, kalian akan menemukan kesulitan besar. Itulah sebabnya kalian harus lebih dahulu menyerang mereka agar kekuatan mereka lumpuh. Dengan demikian semangat juang kita akan bangkit.
Musuh kalian itu sudah bertekad bulat akan mempertahankan negeri mereka sampai titik darah penghabisan. Kenapa kita juga tidak bertekad bulan untuk menyerang mereka hingga mati syahid? Saya sama sekali tidka bermaksud menakut-nakuti kalian. Tetapi marilah kita galang rasa saling percaya di antara kita dan kita galang keberanian yang merupakan salah satu modal utama perjuangan kita.
Kita harus bahu membahu. Sesungguhnya saya tahu kalian telah membulatkan tekad serta semangat sebagai pejuang-pejuang agama dan bangsa. Untuk itu kelak kalian akan menikmati kesenangan hidup, disamping itu kalian juga memperoleh balasan pahala yang agung dari Allah swt. Hal itu karena kalian telah mau menegakkan kalimat-Nya dan membela agama-Nya.
Percayalah, sesungguhnya Allah swt. adalah penolong utama kalian. Dan sayalah orang pertama yang akan memenuhi seruan ini di hadapan kalian. Saya akan hadapi sendiri Raja Roderick yang sombong itu. Mudah-mudahan saya bisa membunuhnya. Namun, jika ada kesempatan, kalian boleh saja membunuhnya mendahului saya. Sebab dengan membunuh penguasa lalim itu, negeri ini dengan mudah kita kuasai. Saya yakin, para pasukannya akan ketakutan. Dengan demikian, negeri ini akan ada di bawah bendera Islam.”
Mendengar pasukan Thariq telah mendarat, Raja Roderick mempersiapkan 100.000 tentara dengan persenjataan lengkap. Ia memimpin langsung pasukannya itu. Musa bin Nusair mengirim bantuan kepada Thariq hanya dengan 5.000 orang. Sehingga total pasukan Thariq hanya 12.000 orang.
Ahad, 28 Ramadhan 92 H atau 19 Juli 711 M, kedua pasukan bertemu dan bertempur di muara Sungai Barbate. Pasukan muslimin yang kalah banyak terdesak. Julian dan beberapa orang anak buahnya menyusup ke kubu Roderick. Ia menyebarkan kabar bahwa pasukan muslimin datang bukan untuk menjajah, tetapi hanya untuk menghentikan kezaliman Roderick. Jika Roderick terbunuh, peperangan akan dihentikan.
Usaha Julian berhasil. Sebagian pasukan Roderick menarik diri dan meninggalkan medan pertempuran. Akibatnya barisan tentara Roderick kacau. Thariq memanfatkan situasi itu dan berhasil membunuh Roderick dengan tangannya sendiri. Mayat Roderick tengelam lalu hanyat dibawa arus Sungai Barbate.
Terbunuhnya Roderick mematahkan semangat pasukan Spanyol. Markas pertahanan mereka dengan mudah dikuasai. Keberhasilan ini disambut gembira Musa bin Nusair. Baginya ini adalah awal yang baik bagi penaklukan seluruh Spanyol dan negara-negara Eropa.
Setahun kemudian, Rabu, 16 Ramadhan 93 H, Musa bin Nusair bertolak membawa 10.000 pasukan menyusul Thariq. Dalam perjalanan ia berhasil menaklukkan Merida, Sionia, dan Sevilla. Sementara pasukan Thariq memabagi pasukannya untuk menaklukkan Cordova, Granada, dan Malaga. Ia sendiri membawa sebagian pasukannya menaklukkan Toledo, ibukota Spantol saat itu. Semua ditaklukkan tanpa perlawanan.
Pasukan Musa dan pasukan Thariq bertemu di Toledo. Keduanya bergabung untuk menaklukkan Ecija. Setelah itu mereka bergerak menuju wilayah Pyrenies, Perancis. Hanya dalam waktu 2 tahun, seluruh daratan Spanyol berhasil dikuasai. Beberapa tahun kemudian Portugis mereka taklukkan dan mereka ganti namanya dengan Al-Gharb (Barat).
Sungguh itu keberhasilan yang luar biasa. Musa bin Nusair dan Thariq bin Ziyad berencana membawa pasukannya terus ke utara untuk menaklukkan seluruh Eropa. Sebab, waktu itu tidak ada kekuatan dari mana pun yang bisa menghadap mereka. Namun, niat itu tidak tereaslisasi karena Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik memanggil mereka berdua pulang ke Damaskus. Thariq pulang terlebih dahulu sementara Musa bin Nusair menyusun pemerintahan baru di Spanyol.
Setelah bertemu Khalifah, Thariq bin Ziyad ditakdirkan Allah swt. tidak kembali ke Eropa. Ia sakit dan menghembuskan nafas. Thariq bin Ziyad telah menorehkan namanya di lembar sejarah sebagai putra asli Afrika Utara muslim yang menaklukkan daratan Eropa.

Minggu, 14 Mei 2017

Perang Qadisiyah

Setelah kabar kekalahan kaum muslimin pada perang jembatan  sampai ke Madinah, Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu menyemangati tentara Islam untuk berjuang di Irak dan Persia. Umar sendiri membentuk pasukan di luar kota Madinah, sehingga banyak sekali kaum muslimin yang ikut bergabung untuk berjihad. Umar berkeinginan memimpin sendiri pasukan perang tersebut, tetapi beberapa sahabat memintanya untuk tetap tinggal di Madinah dan mengutus Sa’ad bin Abi Waqqash. Mereka meminta Umar untuk tetap tinggal di Madinah, agar dia mampu mengirimkan bantuan ke Iraq atau daerah lainnya, jika itu diperlukan.[1]

Setelah adanya perintah, sempurnalah mandate kepada Sa’ad bin Abi Waqqash untuk memimpin pasukan berjihad di Iraq. Umar juga memberikan perintah kepada sisa tentara Islam yang masih ada di Iraq di bawah pimpinan Al Mutsanna untuk bergabung di bawah pimpinan Sa’ad.[2]

Akhirnya Sa’ad sampai ke Iraq dengan membawa 4 ribu orang pasukan. Jarir bin Abdullah Al Bajali radhiyallahu ‘anhu lalu bergabung dengan tentara kaum muslimin, sedangkan Mutsanna bin Haritsah meninggal dunia karena lukanya sebelum Sa’ad sampai ke Iraq. Namun, sebelum meninggal dunia Al Mutsanna radhiyallahu ‘anhu telah meninggalkan pesan penting untuk Sa’ad, tentang bagaimana memerangi Persia dan jalan terbaik untuk mengalahkan mereka.[3]

Sa’ad bersama tentara Islam lalu mendirikan kemah di daerah Al Qadasiyah selama hampir satu bulan, sehingga jumlah pasulan mencapai sekitar 30 ribu orang mujahidin. Persia pun telah mempersiapkan pasukannya hingga mencapai jumlah sekitar 120 ribu pasukan. Raja Persia juga telah memilih jenderalnya yang terkenal, Rustum untuk memimpin pasukan melawan tentara Islam. Rustum  dan Raja Persia berusaha memberikan ampunan kepada Sa’ad tetapi Sa’ad tetap bertahan memimpin tentara Islam. Melihat hal itu, Rustum pun bergerak hingga mendekati perkemahan tentara Islam di Al Qadasiyah.[4]

Berlangsunglah beberapa kali perundingan antara tentara Islam dan pasukan Persia, sebelum perang meletus. Rustum meminta tentara Islam untuk mengirimkans eorang utusan untuk berunding dengannya secara langsung. Utusan yang dikirimkan oleh Islam adalah Rib’i bin Amir yang terkenal sebagai perunding dari kubu kaum muslimin. Dalam melakukan pertemuan itu, Rustum melakukan beberapa persiapan, antara lain, menyiapkan singgasananya yang dibanggakan, dan menghiasinya dengan bantal-bantal yang dipoles dengan emas dan sutra. Dia juga memamerkan perhiasannya, meletakkan beragam perhiasan yang dibentangkannya dan dilingkari emas dan perak. Rustum lalu duduk ditengah-tengah perhiasan itu di atas ranjang dari emas.

Rib’i menemui Rustum dengan baju yang sudah lusuh dan bertambal, membawa pedang dengan santun dan menaiki seorang kuda kecil. Ketika Rib’i sampai ke tempat Rustum, dia masuk dengan mengendarai kudanya sehingga kuda itu menginjak kain-kain sutra itu, lalu dia mencabut (mengambil) sedikit kain sutra yang terbentang itu dan mengikatkannya ke kudanya, setelah itu dia menghadap kepada Rustum sambil membawa pedang kecilnya.

Orang Persia itu lalu berkata, “Letakkan pedangmu!” Rib’i  menjawab, “Aku datang bukan dengan keinginanku sendiri, tetapi ini atas undangan kalian. Maka biarkanlah aku sesukaku, atau aku akan kembali pulang!” Rustum lalu memerintahkan bawahannya untuk membiarkan Rib’i. Rib’i  menhadap Rustum sambil bersandar pada tombak yang ditancapkan di atas karpet dan bantal itu, sehingga sebagian bantal itu rusak. Lalu Rustum mulai berbicara, “Apa yang membuat kalian (kaum muslimin) datang kemari?” Rib’i menjawab, “Allah telah memerintahkan kami untuk mengeluarkan orang yang Allah kehendaki, dari penyembahan terhadap makhluk menuju penyembahan kepada Allah. Dan untuk mengeluarkan manusia dari sempitnya dunia menuju keluasannya. Untuk mengeluarkan manusia dari kezhaliman agama-agama yang ada menuju keadilan Islam. Maka kami diutus dengan Agama-Nya kepada mahluk-Nya, agar kami menyeru mereka kepada agama-Nya. Jika mereka mau menerima Islam, maka kamu pun menerima mereka dan meninggalkan mereka (tidak memerangi mereka). Akan tetapi jika mereka menolak, kami pun akan tetap memerangi mereka hingga kami mendapatkan janji Allah.”

Rustum berkata, “Apa yang telah dijanjikan oleh Allah?” Rib’i menjawab, “Surga bagi mereka yang meniggal ketika memerangi mereka yang menolak, dan kemenangan bagi mereka yang hidup.” Rustum berkata, “Apakah kalian dapat menunda masalah ini (perang) sampai kami mempertimbangkannya?” Rib’i menjawab, “Baiklah, kami akan memberi tenggang kepada kalian selama tiga hari.” Lalu Rustum memintanya lebih dari tiga hari. Maka Rib’i berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajari kami untuk memberi waktu tenggang kepada musuh lebih dari tiga hari.” Kemudian Rustum berkata kepada Rib’i, “Apakah kamu jenderal kaum muslimin?” Rib’i menjawab, “Tidak, aku bukan jenderalnya, tetapi kaum muslimin itu seperti satu tubuh, bagian bawahnya bersatu dengan bagian atasnya.” Setelah itu Rustum mengumpulkan komandan perangnya, dia mendiskusikan apa yang dikatakan oleh Rib’i kepada mereka.  Akhirnya mereka memutuskan untuk perang melawan tentara Islam, mereka tidak mau memeluk Islam, atau membayar jizyah (pajak). Dua belah pihak pun akhirnya bersiap-siap untuk melangsungkan pertempuran.”[5]

Berkecamuklah peperangan yang sengit antara tentara Islam dan pasukan Persia, namun ketika itu Sa’ad bin Abi Waqqash  terkena penyakit bisul yang menjadikannya tidak mampu mengendarai kuda, untuk itu dalam mengontrol tentara kaum muslimin, Sa’ad memberikan komando dari atap sebuah rumah.[6]

Pasukan Persia pada perang ini telah menyiapkan sejumlah gajah karena keefektifannya pada perang jembatan sebelumnya, yang membawa kemenangan di pihak mereka. Pada hari pertama, gajah berhasil memberikan dampak positif bagi pasukan Persia, karena kuda-kuda tentara Islam menjadi takut dan tidak berani untuk bergerak maju.

Oleh sebab itu, beberapa tentara Islam pemberani bergerak maju dengan berjalan kaki, tanpa tunggangan kuda. Mereka pun berhasil, meskipun itu sangat membahayakan diri mereka, mereka dapat menjatuhkan penunggang-penunggang gajah dan para komandonya. Dengan demikian, gajah-gajah itu tercerai berai sehingga pengaruhnya terhadap tentara Islam berkurang. Korban jatuh dari pihak Islam di hari pertama perang berjumlah lebih dari 500 orang syahid, dan hari pertama perang tersebut dijuluki sebagai hari Armats.[7]

Pada pagi hari berikutnya, atau hari kedua peperangan, datanglah bantuan dari tentara Islam yang bergerak dari negeri Syam atau perintah Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. Tentara Islam tersebut dipimpin oleh Hasyim bin Utbah bin Abu Waqqash radhiyallahu ‘anhu. Pasukan tersebut dikepalai oleh Al Qa’qa bin Amr At Tamimi. Al Qa’qa’ membagi pasukannya ke dalam kelompok-kelompok berisi sepuluh orang tentara. Tujuannya agar pada setiap serangan yang telah ditentukan waktunya, jumlah pasukannya tetap. Mereka sengaja menerbangkan debu yang banyak, agar menjadikan musuh mengira bahwa jumlah tentara Islam sangat banyak. Kedatangan bantuan yang datang secara beransur-ansur dan memerlukan waktu yang lama, telah menjadikan pasukan Persia takut. Dilain pihak, tekad tentara Islam semakin kuat. Keuntungan psikologis tersebut memungkinkan Al Qa’qa dan pasukannya untuk masuk ke tengah-tengah medan perang dan memudahkannya membunuh beberapa pemimpin besar Persia. Untuk menhindari debu yang berterbangan, tentara Islam mengikatkan diri dengan unta-unta yang mereka naiki. Mereka menutupi unta mereka dengan kantong dan mengarahkan unta-unta ke arah kuda-kuda pasukan Persia. Pasukan Persia pun berlarian. Pada hari itu tanda-tanda kemenangan tentara Islam telah terlihat. Hari itu kemudian disebut dengan hari Agwats (bala bantuan), karena bantuan untuk tentara Islam telah datang.[8]

Pada pagi hari berikutnya, yaitu hari ketiga peperangan, atau hari Umas, dimulailah perang untuk kesekian kalinya antara tentara Islam dan pasukan Persia. Pada hari itu, pasukan Persia kembali memanfaatkan tenaga gajah. Gajah-gajah tersebut berhasil melukai banyak tentara Islam. Akan tetapi para pemberani dari tentara Islam tetap kokoh menyerang kawanan gajah tersebut dan melawannya. Mereka menyerang mata gajah dan belalainya, sehingga gajah-gajah tersebut lari meninggalkan medan perang. Pada hari ini, mulailah kubu Islam lebih unggul setelah tentara Islam diuji dengan ujian yang baik. Menjelang malam, perang masih sengit berkecamuk, sehingga perang pun terus bergulir dalam kegelapan malam. Tentara Islam pun terus menyerang seperti perjuangan para pahlawan. [9] Tidak ada yang terdengar pada malam itu, kecuali suara pedang beradu. Malam itu lalu dikenal sebagai malam (Al Harir).[10] Tentara Islam pun mendapatkan ujian yang baik. Fajar pun menyingsing, tetapi perang tak kunjung selesai sehingga waktu dzuhur tiba, ketika pasukan Persia mulai melarikan diri dari medan perang. Tak terkecuali Rustum, sang pemimpin pasukan Persia, turut berusaha lari untuk menyelamatkan diri, nama usaha Rustum gagal, karena seorang tentara Islam pemberani mengejarnya dan membunuhnya. Pemimpin-pemimpin pasukan Persia yang lain pun turut terbunuh. Diakhir perang, kemenangan telah menemani tentara Islam. [11]

Perang ini adalah perang terpenting yang melibatkan pasukan Persia dan tentara Islam, karena dalam perang tersebut, tergabung pasukan terbaik Persia. Kekalahan yang diderita Persia ini memberikan efek yang sangat besar terhadap hancurnya keyakinan yang dimiliki Persia. Setelah perang tersebut tentara Islam mampu merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Persia, setelah sempat dikuasai Islam. Tentara Islam pun sudah bisa mempersiapkan pembebasan kota-kota lain. Dari perang ini pula tentara Islam berhasil memperoleh banyak sekali ghanimah dan senjata yang dapat dimanfaatkan untuk membuka daerah baru.

Dikutip dari: Penaklukan Dalam Islam, DR.Abdul Aziz bin Ibrahim Al Umari, Penerbit Darussunnah

Note:

[1] Al Baladziri, Futuh Al Buldan 255. Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/83, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/450

[2] Khalifah ibn Khayyath, Tarikh Khalifah Ibn Khayyath 129. Al Baladziri, Futuh Al Buldan 255. Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/83, Ibn A’tsam Al Kufi, Al Futuh 1/73, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/451

[3] Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/88, Lihat pula: Khalifah ibn Khayyath, Tarikh Khalifah Ibn Khayyath 129, Al Baladziri, Futuh Al Buldan 256, Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/86, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/451

[4] Al Baladziri, Futuh Al Buldan 256, Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/81

[5] Lihat lebih detail cerita mengenai Rib’i  bin Amir bersama Rustum dalam kitab Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/106, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/463

[6] Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/113

[7] Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/119, Al MAs’udi, Muruj Adz Dzahab 2/321, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/469

[8] Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/120, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/473, Ibn A’tsam Al Kufi, Al Futuh 1/161

[9] Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/124, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/477

[10] Ath Thabari, Tarikh Ath Thabari 4/132, Ibn Al Atsir, Al Kamil 2/479

[11] : Khalifah ibn Khayyath, Tarikh Khalifah Ibn Khayyath 132, Al Baladziri, Futuh Al Buldan 259

Perang Yarmuk

Dalam sejarah perjuangan kaum muslimin menegakkan dan membela al haq (kebenaran), berjihad di jalan Allah, kita akan dapat menemukan kisah teladan mengenai itsar, sejarah yang begitu indah untuk dipelajari, merupakan suatu kenikmatan tersendiri jika diamalkan.

Ketika terjadi perang Yarmuk, perang yang terjadi antara kaum muslimin melawan pasukan Romawi (Bizantium), negara super power saat itu, tahun 13 H/ 634 M.

Pasukan Romawi dengan peralatan perang yang lengkap dan memiliki tentara yang sangat banyak jumlahnya dibandingkan pasukan kaum muslimin. Pasukan Romawi berjumlah sekitar 240.000 orang dan pasukan kaum muslimin berjumlah 45.000 orang menurut sumber islam atau 100.000–400.000 untuk pasukan romawi dan 24.000-40.000 pasukan muslim menurut sumber wikipedia

Dalam perang Yarmuk, pasukan Romawi memiliki tentara yang banyak, pengalaman perang yang mumpuni, peralatan perang yang lengkap, logistik lebih dari cukup, dapat dikalahkan oleh pasukan kaum muslimin, dengan izin Allah.

Ini adalah bukti yang nyata bahwa sesungguhnya kemenangan itu bersumber dari Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Pertempuran ini, oleh beberapa sejarawan, dipertimbangkan sebagai salah satu pertempuran penting dalam sejarah dunia, karena dia menandakan gelombang besar pertama penaklukan Muslim di luar Arab, dan cepat masuknya Islam ke Palestina, Suriah, dan Mesopotamia yang rakyatnya menganut agama Kristen.

Pengangkatan Khalid bin Walid

Entah apa yang ada di benak Khalid bin Walid ketika Abu Bakar menunjuknya menjadi panglima pasukan sebanyak 46.000. Hanya ia dan Allah saja yang tahu kiranya. Khalid tak hentinya beristigfar. Ia sama sekali tidak gentar dengan peperangan yang akan ia hadapi. 240.000 tentara Bizantin. Ia hanya khawatir tidak bisa mengendalikan hatinya karena pengangkatan itu. Kaum muslimin tengah bersiap menyongsong Perang Yarmuk sebagai penegakan izzah Islam berikutnya.

Hampir semua tentara muslim gembira dengan penunjukkan itu. Selama ini memang Khalid bin Walid adalah seorang pemimpin di lapangan yang tepat. Abu Bakar pun tidk begitu saja menunjuk pejuang yang berjuluk Pedang Allah itu. Sejak kecil, Khalid dikenal sebagai seorang yang keras. Padahal ia dibesarkan dari sebuah keluarga yang kaya. Sejak usia dini, ia menceburkan dirinya ke dalam seni peperangan dan seni bela diri. Malah mempelajari keahlian mengendarai kuda, memainkan pedang dan memanah. Dia juga mencurahkan perhatiannya ke dalam hal memimpin angkatan perang. Bakat-bakatnya yang asli, ditambah dengan latihan yang keras, telah membina Khalid menjadi seorang yang luar biasa. Kemahiran dan keberaniannya mengagumkan setiap orang. Konon, hanya Khalid bin Walid seorang yang pernah memorak-porandakan pasukan kaum muslimin, semasa ia masih belum memeluk Islam.

Strategi Perang Kaum Muslimin

Khalid bin Walid sekarang memutar otak. Bingung bukan buatan. Tentara Bizantin Romawi berkali-kali lipat banyaknya dengan jumlah pasukan kaum muslimin. Ditambah, pasukan Islam yang dipimpinya tanpa persenjataan yang lengkap, tidak terlatih dan rendah mutunya. Ini berbeda dengan angkatan perang Romawi yang bersenjatakan lengkap dan baik, terlatih dan jumlahnya lebih banyak. Dan mereka akan berhadapan di dataran Yarmuk. Tentara Romawi yan hebat itu berkekuatan lebih dari 3 lakh serdadu bersenjata lengkap, diantaranya 80.000 orang diikat dengan rantai untuk mencegah kemungkinan mundurnya mereka. Tentara Muslim seluruhnya berjumlah 45.000 orang itu, sesuai dengan strategi Khalid, dipecah menjadi 40 kontingen untuk memberi kesan seolah-olah mereka lebih besar daripada musuh.

Strategi Khalid ternyata sangat ampuh. Saat itu, taktik yang digunakan oleh Romawi terutama di Arab Utara dan selatan ialah dengan membagi tentaranya menjadi lima bagian, depan, belakang, kanan, kiri dan tengah. Heraclus sebagai ketua tentara Romawi telah mengikat tentaranya dengan besi antara satu sama lain. Ini dilakukan agar mereka jangan sampai lari dari peperangan. Romawi juga menggunakan taktik dan strategi tetsudo (kura-kura). Jenis tentara Rom dikenal sebagai ‘legions’, yang satu bagiannya terdapat 3000-6000 laskar berjalan kaki dan 100-200 laskar berkuda. Ditambah dengan dan ‘tentara bergajah’. Kegigihan Khalid bin Walid dalam memimpin pasukannya membuahkan hasil yang membuat hampir semua orang tercengang. Pasukan muslim yang jumlahnya jauh lebih sedikit itu berhasil memukul mundur tentara Romawi dan menaklukkan wilayah itu.

Jalannya Peperangan

Panglima Romawi, Gregorius Theodore -orang-orang Arab menyebutnya “Jirri Tudur”– ingin menghindari jatuhnya banyak korban. Ia menantang Khalid untuk berduel. Dalam pertempuran dua orang itu, tombak Gregorius patah terkena sabetan pedang Khalid. Ia ganti mengambil pedang besar. Ketika berancang-ancang perang lagi, Gregorius bertanya pada Khalid tentang motivasinya berperang serta tentang Islam.

Mendengar jawaban Khalid, di hadapan ratusan ribu pasukan Romawi dan Muslim, Gregorius menyatakan diri masuk Islam. Ia lalu belajar Islam sekilas, sempat menunaikan salat dua rakaat, lalu bertempur di samping Khalid. Gregorius syahid di tangan bekas pasukannya sendiri. Namun pasukan Islam mencatat kemenangan besar di Yarmuk, meskipun sejumlah sahabat meninggal di sana. Di antaranya adalah Juwariah, putri Abu Sofyan.

Pada perang Yarmuk, Az-Zubair bertarung dengan pasukan Romawi, namun pada saat tentara muslim bercerai berai, beliau berteriak : “Allahu Akbar” kemudian beliau menerobos ke tengah pasukan musuh sambil mengibaskan pedangnya ke kiri dan ke kanan, anaknya Urwah pernah berkata tentangnya : “Az-Zubair memiliki tiga kali pukulan dengan pedangnya, saya pernah memasukkan jari saya didalamnya, dua diantaranya saat perang badar, dan satunya lagi saat perang Yarmuk.

Salah seorang sahabatnya pernah bercerita : “Saya pernah bersama Az-Zubair bin Al-’Awwam dalam hidupnya dan saya melihat dalam tubuhnya ada sesuatu, saya berkata kepadanya : demi Allah saya tidak pernah melihat badan seorangpun seperti tubuhmu, dia berkata kepada saya : demi Allah tidak ada luka dalam tubuh ini kecuali ikut berperang bersama Rasulullah saw dan dijalan Allah. Dan diceritakan tentangnya : sesungguhnya tidak ada gubernur/pemimpin, penjaga dan keluar sesuatu apapun kecuali dalam mengikuti perang bersama Nabi saw, atau Abu Bakar, Umar atau Utsman.

Hari ke-4, Hari Hilangnya Mata

Peristiwa ini terjadi pada hari keempat perang Yarmuk, dimana dari sumber ini dikabarkan 700 orang dari pasukan Muslim kehilangan matanya karena hujan panah dari tentara Romawi. Dan hari itu merupakan hari peperangan terburuk bagi pasukan Muslimin.

Hari ke-6, Terbunuhnya Gregory, Komandan Pasukan Romawi

Hari keenam dari perang Yarmuk fajar benderang dan jernih. Itu adalah minggu ke empat Agustus 636 (minggu ketiga Rajab, 15 H). Kesunyian pagi hari tidak menunjukkan pertanda akan bencana yang akan terjadi berikutnya. Pasukan muslim saat itu merasa lebih segar, dan mengetahui niat komandan mereka untuk menyerang dan sesuatu di dalam rencananya, tak sabar untuk segera berperang. Harapan-harapan pada hari itu menenggelamkan semua kenangan buruk pada ’Hari Hilangnya Mata’. Di hadapan mereka berbaris pasukan Romawi yang gelisah – tidak terlalu berharap namun tetap berkeinginan untuk melawan dalam diri mereka.

Seiring dengan naiknya matahari di langit yang masih samar di Jabalud Druz, Gregory, komandan pasukan yang dirantai, mengendarai kudanya maju ke depan di tengah-tengah pasukan Romawi. Dia datang dengan misi untuk membunuh komandan pasukan Muslimin dengan harapan hal itu akan memberikan efek menyurutkan semangat pimpinan kesatuan dan barisan kaum Muslimin. Ketika ia mendekati ke tengah-tengah pasukan Muslimin, dia berteriak menantang (untuk berduel) dan berkata, ”Tidak seorang pun kecuali Komandan bangsa Arab!

Abu Ubaidah seketika bersiap-siap untuk menghadapinya. Khalid dan yang lainnya mencoba untuk menahannya, karena Gregory memiliki reputasi sebagai lawan tanding sangat kuat, dan meang terlihat seperti itu. Semuanya merasa bahwa akan lebih baik apabila Khalid yang keluar menjawab tantangan itu, namum Abu Ubaidah tidak bergeming. Ia berkata kepada Khalid, ”Jika aku tidak kembali, engkau harus memimpin pasukan, sampai Khalifah memutuskan perkaranya.”

Kedua komandan berhadap-hadapan di atas punggung kudanya masing-masing, mengeluarkan pedangnya dan mulai berduel. Keduanya adalah pemain pedang yang tangguh dan memberikan penonton pertunjukkan yang mendebarkan dari permainan pedang dengan tebasan, tangkisan dan tikaman. Pasukan Romawi dan Muslim menahan nafas. Kemudian setelah berperang beberapa menit, Gregory mundur dari lawannya, membalikkan kudanya dan mulai menderapkan kudanya. Teriakan kegembiraan terdengar dari pasukan Muslimin atas apa yang terlihat sebagai kekalahan sang prajurit Romawi, namun tidak ada reaksi serupa dari Abu Ubaidah. Dengan mata yang tetap tertuju pada prajurit Romawi yang mundur itu, ia menghela kudanya maju mengikutinya.

Gregory belum beranjak beberapa ratus langkah ketika Abu Ubaidah menyusulnya. Gregory, yang sengaja mengatur langkah kudanya agar Abu Ubaidah menyusulnya, berbalik dengan cepat dan mengangkat pedangnya untuk menyerang Abu Ubaidah. Kemundurannya dari medan pertempuran adalah tipuan untuk membuat lawannya lengah. Namun Abu Ubaidah bukanlah orang baru, dia lebih tahu mengenai permainan pedang dari yang pernah dipelajari Gregory. Orang Romawi itu mengangkat pedangnya, namun hanya sejauh itu yang dapat dilakukannya. Ia ditebas tepat pada batang lehernya oleh Abu Ubaidah, dan pedangnya jatuh dari tangannya ketika dia rubuh ke tanah. Untuk beberapa saat Abu Ubaidah duduk diam di atas kudanya, takjub pada tubuh besar jendral Romawi tersebut. Kemudian demgan meninggalkan perisai dan senjata yang berhiaskan permata orang Romawi itu, yang diabaikannya karena kebiasaannya tidak memandang berharga harta dunia, prajurit yang shalih itu kemudian kembali kepada pasukan Muslimin.

Kepahlawanan Asma binti Yazid bin As-Sakan

Keinginannya untuk terjun ke medan jihad baru terwujud setelah Rasul saw wafat, yaitu ketika terjadi perang Yarmuk pada tahun ke-13 Hijriyyah. Dalam perang besar (Yarmuk) itu Asma binti Yazid bersama kaum mukminah lainnya berada di barisan belakang laki-laki. Semuanya berusaha mengerahkan segenap kekuatannya untuk mensuplai persenjataan pasukan laki-laki. Memberi minum kepada mereka, mengurus mereka yang terluka, dan mengobarkan semangat jihad mereka.  Ketika peperangan berkecamuk dengan begitu serunya, ia  berjuang sekuat tenaganya. Akan tetapi, dia tidak menemukan senjata apapun, selain tiang penyangga tendanya. Dengan bersenjatakan tiang itulah, dia menyusup ke tengah-tengah medan tempur dan menyerang musuh yang ada di kanan dan kirinya, sampai akhirnya dia berhasil membunuh sembilan orang tentara Romawi.

Dalam bagian lain beliau berkata: “Para wanita menghadang mujahidin yang lari dari berkecamuknya perang dan memukul mereka dengan kayu dan melempari mereka dengan batu.” Adapun Khaulah binti Tsa`labah berkata: “Wahai kalian yang lari dari wanita yang bertakwa .Tidak akan kalian lihat tawanan.Tidak pula perlindungan.Tidak juga keridhaan”

Beliau juga berkata dalam bagian lain: “Pada hari itu kaum muslimah berperang dan berhasil membunuh banyak tentara Romawi, akan tetapi mereka memukul kaum muslimin yang lari dari kancah peperangan hingga mereka kembali untuk berperang”.

Hal ini sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar,

”Dia adalah asma binti Yazid bin As-Sakan yang ikut terjun dalam perang Yarmuk. Pada hari itu dia berhasil membunuh sembilan orang tentara Romawi dengan menggunakan tiang tendanya. Setelah perang Yarmuk ia masih hidup dalam waktu yang cukup lama.  Asma keluar dari medan pertempuran dengan luka parah sebagaimana juga banyak dialami pasukan kaum muslimin. Akan tetapi, Allah berkehendak ia tetap hidup dalam waktu yang cukup lama.  Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada Asma binti Yazidd bin As-Sakan dan memuliakan tempatnya di sisi-Nya atas berbagai Hadits yang diriwayatkannya dan atas segala pengorbanannya.

Akan tetapi manakala berkecamuknya perang, manakala suasana panas membara dan mata menjadi merah, ketika itu Asma` lupa bahwa dirinya adalah seorang wanita. Beliau hanya ingat bahwa dirinya adalah muslimah, mukminah dan mampu berjihad dengan mencurahkan dengan segenap kemampuan dan kesungguhannya. Hanya beliau tidak mendapatkan apa-apa yang di depannya melainkan sebatang tiang kemah, maka beliau membawanya dan berbaur dengan barisan kaum muslimin. Beliau memukul musuh-musuh Allah ke kanan ke kiri hingga dapat membunuh sembilan orang tentara Romawi, sebagaimana yang dikisahkan oleh Imam Ibnu Hajar tentang beliau: “Dialah Asma` binti Yazid bin Sakan yang menyertai perang Yarmuk, ketika itu beliau membunuh sembilan tentara Romawi dengan tiang kemah, kemudian beliau masih hidup selama beberapa tahun setelah peperangan tersebut.

Asma` keluar dari peperangan dengan membawa luka di punggungnya dan Allah menghendaki beliau masih hidup setelah itu selama 17 tahun karena beliau wafat pada akhir tahun 30 Hijriyah setelah menyuguhkan kebaikan kepada umat.

Dia telah berbuat sesuatu agar dijadikannya contoh bagi wanita muslimah lainnya, yaitu kerelaan dan tekadnya yang kuat untuk membela dan mempertahankan agama Allah dan mengangkat panji Islam sampai agama Allah tegak di muka bumi.

Kisah Rela Berkorban untuk Saudara Seiman

Setelah perang selesai dan dimenangkan oleh pasukan kaum muslimin, di medan Yarmuk tergeletak beberapa pejuang Islam, sahabat Rasulullah saw dengan badan penuh luka. Mereka adalah Ikrimah bin Abi Jahal, disekujur tubuhnya tidak kurang ada 70 luka, Al Harits bin Hisyam (paman Ikrimah) dan Ayyasy bin Abi Rabi’ah, dalam riwayat lain Suhail bin ‘Amru.

Saat ketiganya sedang letih, lemah, dan kehausan serta dalam keadaan kritis, datanglah seorang yang mau memberikan air kepada salah seorang diantara mereka yang sedang kepayahan.

Ketika air akan diberikan kepada Al Harits dan hendak diminumnya, dia melihat Ikrimah yang sedang kehausan dan sangat membutuhkan, maka dia berkata, “Bawa air ini kepadanya !”.

Air beralih ke Ikrimah putra Abu Jahal, ketika dia hendak meneguknya, dilihatnya Ayyasy menatapnya dengan pandangan ingin minum, maka dia berkata, “Berikan ini kepadanya !”.

Air beralih lagi kepada Ayyasy, belum sempat air diminum, dia sudah keburu syahid. Maka orang yang membawa air bergegas kembali kepada kedua orang yang membutuhkan air minum, akan tetapi ketika ditemui keduanya juga sudah syahid.

Dalam riwayat yang lain pula ditambahkan: “Sebenarnya Ikrimah bermaksud untuk meminum air tersebut, akan tetapi pada waktu ia akan meminumnya, ia melihat ke arah Suhail dan Suhail pun melihat ke arahnya pula, maka Ikrimah berkata: “Berikanlah saja air minum ini kepadanya, barangkali ia lebih memerlukannya daripadaku.” Suhail pula melihat kepada Haris, begitu juga Haris melihat kepadanya. Akhirnya Suhail berkata: “Berikanlah air minum ini kepada siapa saja, barangkali sahabat-sahabatku itu lebih memerlukannya daripadaku.” Begitulah keadaan mereka, sehingga air tersebut tidak seorangpun di antara mereka yang dapat meminumnya, sehingga mati syahid semuanya. Semoga Allah melimpahkan kurnia dan rahmat-Nya kepada mereka bertiga.

Gugurnya Ikrimah bin Abu Jahal

Yarmuk, salah satu daerah di negeri Syam menceritakan bagaimana singa-singa Allah Subhanahu wa Ta’ala menerkam musuh-musuh mereka. Kekuatan dan perlengkapan musuh yang begitu dahsyat, ternyata tidak meluluhkan tekad mereka; menang atau mati syahid.

Ketika ‘Ikrimah sudah bersiap menembus pasukan musuh, Khalid bin Al-Walid saudara sepupunya berkata: “Jangan lakukan. Kematianmu sangat merugikan kaum muslimin.” Kata ‘Ikrimah: “Biarlah, hai Khalid, karena kau telah pernah ikut bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi ayahku sangat hebat memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

‘Ikrimah menerobos ke tengah-tengah pasukan musuh yang berjumlah puluhan ribu orang bersama beberapa ratus prajurit muslim lainnya.

Diceritakan, bahwa dia pernah berkata ketika perang Yarmuk: “Aku dahulu memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di setiap medan pertempuran. Hari ini, apakah aku akan lari dari kalian (yakni pasukan lawan, red.)?” Lalu dia berseru: “Siapa yang mau berbai’at untuk mati?” Maka berbai’atlah Al-Harits bin Hisyam, Dhirar bin Al-Azwar bersama empat ratus prajurit muslim lainnya.

Mereka pun maju menggempur musuh di depan kemah Khalid sampai satu demi satu mereka jatuh berguguran sebagai kembang syuhada.

Kata Az-Zuhri: “Waktu itu, ‘Ikrimah adalah orang yang paling hebat ujiannya. Luka sudah memenuhi wajah dan dadanya sampai ada yang mengatakan kepadanya: ‘Bertakwalah engkau kepada Allah, kasihanilah dirimu’.”

Tapi ‘Ikrimah menukas: “Dahulu aku berjihad dengan diriku demi Latta dan ‘Uzza, bahkan aku serahkan jiwaku untuk mereka. Lantas, sekarang, apakah harus aku biarkan jiwaku ini tetap utuh karena (membela) Allah dan Rasul-Nya? Tidak. Demi Allah, selamanya tidak.”

Maka, hal itu tidaklah menambahi apapun selain beliau semakin berani menyerang hingga gugur sebagai syahid. Pada waktu Ikrimah gugur, ternyata di tubuhnya terdapat lebih kurang tujuh puluh luka bekas tikaman pedang, tombak dan anak panah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai ‘Ikrimah.

Setelah Peperangan

Umar kemudian memecat Khalid, dan mengangkat Abu Ubaidah sebagai Panglima Besar pengganti. Umar khawatir, umat Islam akan sangat mendewakan Khalid. Hal demikian bertentangan prinsip Islam. Khalid ikhlas menerima keputusan itu. “saya berjihad bukan karena Umar,” katanya. Ia terus membantu Abu Ubaidah di medan tempur. Kota Damaskus berhasil dikuasai. Dengan menggunakan “tangga manusia”, pasukan Khalid berhasil menembus benteng Aleppo. Kaisar Heraklius dengan sedih terpaksa mundur ke Konstantinopel, meninggalkan seluruh wilayah Syria yang telah lima abad dikuasai Romawi.

Penguasa Yerusalem juga menyerah. Namun mereka hanya akan menyerahkan kota itu pada pemimpin tertinggi Islam. Maka Umar pun berangkat ke Yerusalem. Ia menolak dikawal pasukan. Jadilah pemandangan ganjil itu. Pemuka Yerusalem menyambut dengan upacara kebesaran. Pasukan Islam juga tampil mentereng. Setelah menaklukkan Syria, mereka kini hidup makmur.Lalu Umar dengan bajunya yang sangat sederhana datang menunggang unta merah. Ia hanya disertai seorang pembantu. Mereka membawa sendiri kantung makanan serta air.

Kesederhanaan Umar itu mengundang simpati orang-orang non Muslim. Apalagi kaum GerejaSyria dan Gereja Kopti-Mesir memang mengharap kedatangan Islam. Semasa kekuasaan Romawi mereka tertindas, karena yang diakui kerajaan hanya Gereja Yunani. Ketika ditawari bersembahyang di gereja Kebaktian, Umar menolaknya dengan mengatakan: “Kalau saya berbuat demikian, kaum Muslimin di masa depan akan melanggar perjanjian ini dengan alasan mengikuti contoh saya.” Syarat-syarat perdamaian yang adil ditawarkan kepada orang Kristen. Sedangkan kepada orang-orang Yahudi, yang membantu orang Muslimin, hak milik mereka dikembalikan tanpa harus membayar pajak apa pun.

Maka, Islam segera menyebar dengan cepat ke arah Memphis (Kairo), Iskandaria hingga Tripoli, di bawah komandoAmr bin Ash dan Zubair, menantu Abu Bakar.

Perang Tabuk

Perang Tabuk menjadi sejarah peperangan terakhir yang diikuti oleh Rasulullah SAW. Rasulullah memimpin langsung perang yang terjadi pada 630 M atau 9 H antara tentara Muslim dan pasukan Bizantium (Romawi Timur). Memang, tidak ada pertempuran yang terjadi kerena diadakan perundingan diantara keduanya. Namun pada perang ini lah umat Islam diuji, apakah mereka mau bersatu untuk berperang membela agama Allah, atau malah menikmati kekayaan yang saat itu sedang mereka rasakan. 

Pasukan Binzantium awalnya percaya diri dengan 100 ribu pasukan lebih. Hal ini membuat Rasulullah SAW menurunkan 30 ribu pasukan. Jumlah ini menjadi jumlah pasukan terbanyak yang dilalui Nabi sepanjang perang. 

Para sahabat lalu menyumbangkan hartanya untuk perang kali ini. Utsman Bin Affan menyedekahkan 900 Unta, 100 kuda dan 1000 Dinar. Abdurahman bin Auf yang menyumbang 200 uqiyah perak, yang satu uqiyah sama dengan 40 dirham, tak lupa Umar Bin Khattab yang menyumbang setengah hartanya, juga Abu Bakar yang seluruh hartanya untuk peperangan ini.

Ternyata ada saja kaum munafik yang saat itu memilih untuk tetep tinggal di Madinah yang saat itu sedang menikamati panen raya. Akhirnya yang tinggal adalah kaum munafik, orang-orang udzur, wanita, anak-anak dan sebagian kecil sahabat yang tak mendapatkan tunggangan padahal mereka sangat ingin berperang. Tiga sahabat Rasulullah juga memilih untuk tinggal menikmati kenikmatan dunia ketimbang ikut berperang. Salah satunya adalah Ka’ab Bin Malik.

Perjalanan untuk menempuh perang pun dimulai. Rasulullah SAW dan pasukan kemudian meninggalkan Madinah menuju Tabuk yang wilayahnya berjarak 800 km dari Madinah. Perjalanan ini memakan waktu hingga 20 hari. Medan yang mereka lakoni juga sangat sulit. Selain keterbatasan bahan makanan, kaum muslimin juga harus menghadapi panasnya gurun pasir yang diatas rata-rata. Perang  ini bahkan dijuluki “Pasukan Jaisyul Usrah” yang artinya pasukan yang dalam keadaan sulit.

Sesampainya di Tabuk, Rasulullah SAW tidak menemukan satu pun kaum musrikin. Romawi dan sekutunya merasa takut dan kuatir setelah mendengar Rasulullah SAW menggalang pasukan. Mereka berpencar ke batas-batas wilayahnya. 

Rasulullah SAW menghabiskan 10  hari Tabuk. Namun Ia tidak tinggal diam begitu saja, ekspedisi ini dimanfaatkan Nabi Muhammad SAW untuk mengunjungi kabilah-kabilah yang ada di sekitar Tabuk dan menyebarkan ajaran Islam.

Rasulullah SAW didatangi oleh Yuhanah bin Rubbah dari Ailah untuk menawarkan perjanjian perdamaian dengan beliau dan siap menyerahkan jizyah kepada beliau. Rasulullah menulis selembar surat perjanjian dan memberikan kepada mereka yang kemudian mereka pegang. Akhirnya peperangan pun tidak jadi terjadi. Setelah 30  hari meninggalkan Madinah, akhirnya umat Islam kembali tanpa terjadi peperangan. 

Perang Mut'ah

Peperangan ini tercatat di dalam sejarah sebagai sebuah peperangan besar, di mana tentara Islam yang berjumlah 3.000 orang melawan 200.000 tentara Romawi Nasrani. Sekalipun demikian dahsyatnya peperangan Mu’tah, sahabat yang mati syahid hanya 12 orang, dan mereka memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mendakwahi dan memerangi manusia hingga mereka mengikrarkan kalimat tauhid. Maka kemuliaan bagi yang mengikuti agamanya dan kehinaan bagi yang menyelisihinya.

Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwah dari kerabatnya yang terdekat dari kabilah Quraisy lalu bangsa Arab secara umum dan siapa saja yang dekat atau datang kepadanya dari berbagai penjuru, maka demikian pula beliau memerangi musuh pertama yang terdekat yaitu kafir Quraisy para penyembah berhala kemudian bagnsa Arab di sekitar Mekah dan Madinah dan lainnya lalu ahli kitab dari bangsa Yahudi di Madinah dan sekitarnya.

Dan sekarang tiba saatnya untuk memerangi bangsa Romawi yang beragama Nasrani dan nanti akan tiba gilirannya memerangi kaum Majusi para penyembah api dan seluruh umat kafir hingga agama Allah tinggi dan jaya di permukaan bumi, di atas semua agama sekalipun orang-orang kafir benci dengan kemenangan Islam. Inilah Islam dan inilah jihad yang merahmati umat manusia dan tidak membiarkan mereka berlarut-larut dalam laknat Allah dengan tetap dalam kekafiran, tetapi Islam mengeluarkan mereka dari kegelapan syirik dan kufur kepada cahaya Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah takjub dengan orang-orang yang masuk surga dalam keadaan diikat rantai besi.” (HR. Bukhari). Maksudnya bahwa mereka tertawan oleh tentara Islam lalu diikat dengan rantai besi kemudian digiring ke negeri Islam dan akhirnya mereka masuk Islam sehingga berbahagia dengan surga.

Dan termasuk hikmah ilahiyyah tatkala orang-orang kafir dari berbagai bangsa tidak bersatu padu dalam satu waktu untuk menyerang kaum muslimin. Tatkala kafir Quraisy memerangi kaum muslimin, maka bangsa Arab lainnya diam menunggu hasil dari Quraisy. Ketika seluruh bangsa Arab dan Yahudi bersekutu memerangi kaum muslimin, maka umat Nasrani diam menunggu hasil peperangan tersebut. Demikian pula tatkala umat Islam berperang melawan Romawi, maka bangsa Persia Majusi diam menunggu hasil peperangan ini hingga semua bangsa dan semua agama ditundukkan oleh kaum muslimin. Firman Allah:

خَيْرًا وَكَفَى اللهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ

Dan Allah memelihara kaum muslimin dari peperangan.” (QS. Al Ahzab: 25)

SEBAB TERJADINYA PERANG MU’TAH

Sebab terjadinya perang ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim surat melalui utusannya, Harits bin Umair radhiallahu ‘anhu kepada Raja Bushra. Tatkala utusan ini sampai di Mu’tah (Timur Yordania), ia dihadang dan dibunuh, padahal menurut adat yang berlaku pada saat itu –dan berlaku hingga sekarang- bahwa utusan tidak boleh dibunuh dan kapan saja membunuh utusan, maka berarti menyatakan pengumuman perang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah akibat tindakan jahat ini, beliau mengirim pasukan perang pada Jumadil Awal tahun ke-8 Hijriah yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika Zaid mati syahid, maka Ja’far yang menggantikannya. Jjika Ja’far mati syahid, maka Abdullah bin Rawahah penggantinya.”

Ini pertama kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tiga panglima sekaligus karena beliau mengetahui kekuatan militer Romawi yang tak tertandingi pada waktu itu.

TENTARA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA BERANGKAT

Pasukan ini berangkat hingga tiba di Ma’an wilayah Syam dan sampai kepada mereka berita bahwa Raja Romawi bernama Heraklius telah tiba di Balqa bersama 100.000 tentara dan bergabung bersama mereka kabilah-kabilah Arab yang beragama Nasrani yang berjumlah 100.000 tentara sehingga total tentara musuh berjumlah 200.000 tentara. Setelah para sahabat bermusyawarah, sebagian mereka mengatakan, “Kita mengirim utusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau menambahkan kekuatan tentara atau memerintahkan kepada kita sesuatu.”

Lalu panglima mereka yang ketiga, Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu, menyemangati mereka seraya mengatakan, “Wahai kaum! Demi Allah, sesungguhnya apa yang kalian takutkan sungguh inilah yang kalian cari (yakni) mati syahid. Kita tidak memerangi manusia karena banyaknya bilangan dan kekuatan persenjataan, tetapi kita memerangi mereka karena agama Islam ini yang Allah muliakan kita dengannya. Bangkitlah kalian memerangi musuh karena sesungguhnya tidak lain bagi kita melainkan salah satu dari dua kebaikan, yaitu menang atau mati syahid.”

Maka sebagian mereka berkata, “Demi Allah, Ibnu Rawahah benar.” Lalu mereka berangkat sampai mereka tiba di Balqa tempat musuh berada.

Ini munjukka betapa besar keberanian para sahabat dalam jihad memerangi musuh-musuh Allah, semoga Allah melaknat Syi’ah yang mencela para sahabat.

PERTEMPURAN

Tentara Islam dan tentara kufur saling berhadapan. Perlu kita ketahui, tentara di medan perang dibagi menjadi lima pasukan, yaitu: pasukan depan, belakang, kanan, kiri, dan tengah sebagai pasukan inti. Tentara musuh dengan jumlah yang sangat banyak mengharuskan seorang tentara dari sahabat melawan puluhan tentara musuh. Akan tetapi, tentara Allah yang memiliki kekuatan iman dan semangat jihad untuk meraih kemulian mati syahid tidak merasakannya sebagai beban berat bagi mereka sebab kekuatan mereka satu banding sepuluh –sebagaimana digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat,

Jika ada di antara kalian 20 orang yang bersabar maka akan mengalahkan 200 orang.” (QS. Al Anfal: 65)

Tentara Allah sebagai wali dan kekasih-Nya yang berperang untuk meninggikan agama-Nya, maka pasti Allah bersama mereka. Adapun orang-orang kafir sebanyak apapun bilangan dan kekuatan mereka, maka ibarat buih yang tidak berarti apa-apa.

Peperangan berkecamuk dengan dahsyat. Pusat perhatian musuh tertuju kepada pembawa bendera kaum muslimin dan keberanian para panglima Islam dalam maju memerangi musuh, hingga mati syahidlah panglima pertama, Zaid bin Haritsa radhiallahu ‘anhu. Lalu bendara perang diambil oleh panglima kedua, Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Beliau berperang habis-habisan hingga tangan kannya terputus, lalu bendera dibawa dengan tangannya kirinya hingga terputus pula dan merangkul bendera dengan dadanya hingga terbunuh. Sebagai balasannya, Allah menggantikan kedua tangannya dengan dua sayap agar di surga ia dapat terbang ke mana saja. Setelah beliau syahid ditemukan pada tubuhnya terdapat 90 luka lebih antara tebasan pedang, tusukan panah atau tombak yang menunjukkan keberaniannya dalam menyerang musuh.

Kemudian bendera perang dibawa oleh panglima ketiga. Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu dan berperang hingga mati syahid menyusul kedua rekannya. Agar bendera perang tidak jatuh maka mereka mengangkatnya dan bersepakat untuk menyerahkannya kepada Khalid bin Walid radhiallahu ‘anhu, maka beliau membawa bendera perang.

Setelah peperangan yang luar biasa, keesokan harinya Khalid radhiallahu ‘anhu –dengan kecerdasan siasat baru dengan mengubah posisi pasukannya dari semula; yaitu pasukan depan ke belakang dan sebaliknya, pasukan kanan ke kiri dan sebaliknya, sehingga tampak bagi musuh bahwa kaum muslimin mendapat bantuan tentara yang baru dan menimbulkan rasa takut dalam hati mereka dan menjadi sebab kekalahan mereka.

Setelah berperang lama, Khalid radhiallahu ‘anhu menilai bahwa kekuatan musuh jauh tidak sebanding dengan kekuatan kaum muslimin. Maka beliau menarik mundur pasukannya dengan selamat hingga ke Madinah, sedang musuh tidak mengejar mereka karena khawatir kalau-kalau ini dilakukan oleh kaum muslimin sebagai siasat perang untuk mengajak Romawi menuju medan perang yang lebih terbuka di padang pasir –yang akan merugikan Romawi.

Dalam perang ini, Khalid radhiallahu ‘anhu berperang habis-habisan hingga sembilan pedang patah di tangannya. Ini menunjukkan betapa besarnya peperangan tersebut dan betapa besar perjuangan para sahabat demi Islam. Maka semoga Allah melaknat orang-orang Syi’ah yang tidak mengakui keutamaan para sahabat. Seandainya Syi’ah mencela seorang saja dari sahabat biasa, sungguh cukuplah sebagai kejelekan mereka, lalu bagaimana jika yang mereka cela adalah kebanyakan sahabat bahkan yang paling utama di antara mereka. Sungguh tidak ada kebaikan yang dilakukan oleh siapa pun kecuali para sahabat merupakan pendahulunya dan mendapat pahalanya.

Sekalipun demikian dahsyatnya peperangan Mu’tah, sahabat yang mati syahid hanya dua belas orang, dan mereka memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Adapun pasukan musuh tidak dapat dipastikan bilangan mereka yang terbunuh, tetapi diperkirakan sangat banyak. Hal ini dapat diketahui dari hebatnya peperangan yang terjadi.

RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM BERKISAH TENTANG PERANG

Tampak mukjizat kenabian, tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada para sahabat di Madinah tentang kematian tiga panglimanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dalam keadaan sedih meneteskan air mata seraya berkata, “Bendera perang dibawa oleh Zaid lalu berperang hingga mati syahid, lalu bendera diambil oleh Ja’far dan berperang hingga mati syahid, lalu bendera perang dibawa oleh Siafullah (Pedang Allah –yakni Khalid bin Walid, pen.) hingga Allah memenangkan kaum muslimin.” Setelah itu, beliau mendatangi keluarga Ja’far dan menghibur mereka serta membuatkan makanan untuk mereka.

PELAJARAN DARI KISAH:

Boleh mengangkat beberapa pemimpin dalam satu waktu dengan syarat tertentu dan memimpin secara berurutan.Kaum muslimin mengangkat Khalid sebagai panglima perang merupakan dalil bolehnya ijtihad di masa hidupnya Rasulullah.Keutamaan tiga panglima (Zaid, Ja’far, Abdullah bin Rawahah) dan keutamaan Khalid bin Walid sebab dalam peperangan ini Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam menamainya dengan Saifullah (Pedang Allah).Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedih atas kematian tiga panglimanya, menunjukkan rahmatnya kepada umatnya dan bahwasanya beliau berusaha menentramkan jiwanya untuk bersabar terhadap musibah. Dan ini lebih baik daripada yang tidak sedih dan tidak tersentuh oleh musibah sama sekali.Hakikat hidup dan ‘izzah (kemuliaan) yang disingkap oleh Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya kemenangan bukanlah karena kekuatan dan jumlah secara materi, melainkan agama dan ketaatan kepada Allah. Lihat Sirah Nabawiyyah karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad: 521-526 dan Sirah Nabawiyyah karya Dr. Akram: 2:267-27

Perang-perang Besar Pada Zaman Rasulullah


Sejak Rasulullah Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT untuk mensyiarkan agama Islam kepada seluruh umat di dunia, setidaknya ada 5 perang besar yang pernah terjadi. Hal itu pun dilakukan oleh Rasulullah dalam keadaan terpaksa, guna pertahanan diri.

Perang Badar



Inilah perang pertama yang dilakukan oleh kaum Muslimin. Sekaligus peristiwa paling penting bagi sejarah perkembangan da’wah Islam. Perang ini terjadi pada 17 Maret 624 Masehi atau 17 Ramadan 2 Hijriah.

Meski dengan kekuatan yang jauh lebih kecil dibanding kekuatan musuh, dengan pertolongan Allah, kaum Muslimin berhasil menang menaklukkan pasukan kafir.

Rasulullah SAW berngkat bersama tigaratusan orang sahabat dalam perang Badar (Ghazawāt Badr). Ada yang mengatakan mereka berjumlah 313, 314, dan 317 orang. Mereka kira-kira terdiri dari 82 atau 86 Muhajirin, serta 61 kabilah Aus dan 170 kabilah Khazraj.

Kaum Muslimin memang tidak berkumpul dalam jumlah besar dan tidak melakukan persiapan sempurna. Mereka hanya memiliki dua ekor kuda, milik Zubair bin Awwam dan Miqdad bin Aswad al-Kindi.

Di samping itu, mereka hanya membawa tujuh puluh onta yang dikendarai secara bergantian, setiap onta untuk dua atau tiga orang. Rasulullah SAW sendiri bergantian mengendarai onta dengan Ali dan Murtsid bin Abi Murtsid Al-Ghanawi.

Sementara, jumlah pasukan kafir Quraisy sepuluh kali lipat. Tak kurang seribu tiga ratusan prajurit, dengan seratus kuda dan enam ratus perisai, serta onta yang jumlahnya tak diketahui secara pasti, dan dipimpin langsung oleh Abu Jahal bin Hisyam.

Sedangkan pendanaan perang, ditanggung langsung oleh sembilan pemimpin Quraisy. Setiap hari, mereka menyembelih sekitar sembilan atau sepuluh ekor unta.

Besarnya kekuatan serbuan kaum Muslim dapat dilihat pada beberapa ayat-ayat Al Qur'an, yang menyebutkan, bahwa ribuan malaikat turun dari Surga pada Pertempuran Badar untuk membinasakan kaum Quraisy.

Haruslah dicatat, bahwa sumber-sumber Muslim awal memahami kejadian ini secara harafiah, dan terdapat beberapa hadits mengenai Muhammad yang membahas mengenai Malaikat Jibril dan peranannya di dalam pertempuran tersebut. 

Apapun penyebabnya, dalam hal ini pasukan Mekkah yang kalah kekuatan dan tidak bersemangat dalam berperang, segera saja tercerai-berai dan melarikan diri. Dan pertempuran itu sendiri berlangsung hanya beberapa jam dan selesai sedikit lewat tengah hari. 

Perang Uhud



Kekalahan di Badar menanamkan rasa dendam yang mendalam di hati kaum kafir Quraisy. Pertempuran Uhud pecah pada tanggal 22 Maret 625 M atau 7 Syawal 3 H. Pertempuran ini terjadi kurang lebih setahun lebih seminggu, setelah Pertempuran Badar.

Mereka pun keluar ke bukit Uhud dan hendak menyerbu kaum Muslimin. Pasukan Islam berangkat dengan kekuatan berkisar seribu orang prajurit. Seratus diantaranya menggunakan baju besi, dan lima puluh lainnya menunggang kuda.

Di sebuah tempat bernama asy-Syauth, kaum Muslimin melakukan shalat shubuh. Tempat ini sangat dekat dengan musuh, sehingga mereka bisa dengan mudah saling melihat.

Ternyata pasukan musuh berjumlah sangat banyak. Mereka berkekuatan tiga ribu tentara, terdiri dari orang-orang Quraisy dan sekutunya. Mereka juga memiliki tiga ribu onta, dua ratus ekor kuda dan tujuh ratus buah baju besi.

Pada kondisi sulit itu, Abdullah bin Ubay, sang munafiq, berkhianat dengan membujuk kaum muslimin untuk kembali ke Madinah. Sepertiga pasukan, atau sekitar tiga ratus prajurit akhirnya mundur. Abdullah bin Ubay mengatakan, “Kami tidak tahu, mengapa kami membunuh diri kami sendiri?"

Setelah kemunduran tiga ratus prajurit tersebut, Rasulullah melakukan konsolidasi kembali dengan sisa pasukan yang jumlahnya sekitar tujuh ratus prajurit untuk melanjutkan perang. Meski pada awalnya pasukan Muslim sempat kocar-kacir, Allah akhirnya memberi mereka kemenangan.

Perang Mu’tah



Perang Mu’tah merupakan pendahuluan dan jalan pembuka untuk menaklukkan negeri-negeri Nasrani. Pemicu perang Mu’tah adalah pembunuhan utusan Rasulullah bernama al-Harits bin Umair yang diperintahkan menyampaikan surat kepada pemimpin Bashra.

Pertempuran Mu'tah ini terjadi pada 629 M atau 5 Jumadil Awal 8 Hijriah, di dekat kampung yang bernama Mu'tah, di sebelah timur Sungai Yordan dan Al Karak.

Al-Harits dicegat oleh Syurahbil bin Amr, seorang gubernur wilayah Balqa di Syam, ditangkap dan dipenggal lehernya. Untuk perang ini, Rasulullah mempersiapkan pasukan berkekuatan tiga ribu prajurit. Inilah pasukan Islam terbesar yang ada pada waktu itu.

Rasulullah telah menunjuk tiga orang sahabat sekaligus pengemban amanah komando yang secara bergantian, apabila komandan sebelumnya gugur dalam tugas di medan peperangan, hingga mengakibatkan tidak dapat meneruskan kepemimpinannya.

Sebuah keputusan yang belum pernah Rasulullah lakukan sebelumnya. Mereka itu adalah Zaid bin Haritsah (berasal dari kaum muhajirin), Ja'far bin Abi Thalib, dan seorang sahabat dari Anshar, Abdullah bin Rawahah, penyair Rasulullah.

Mereka bergerak ke arah utara dan beristirahat di Mu’an. Saat itulah mereka memperoleh informasi, bahwa Heraklius telah berada di salah satu bagian wilayah Balqa dengan kekuatan sekitar seratus ribu prajurit Romawi.

Mereka bahkan mendapat bantuan dari pasukan Lakhm, Judzam, Balqin dan Bahra kurang lebih seratus ribu prajurit. Jadi total kekuatan mereka adalah dua ratus ribu prajurit.

Zaid bin Haritsah ra, panglima pertama yang ditunjuk Rasulullah, kemudian membawa pasukan ke wilayah Mu’tah. Dua pasukan berhadapan dengan sengit. Komandan pertama ini menebasi lesatan anak-anak panah pasukan musuh, sampai akhirnya tewas terbunuh di jalan Allah Azza wa Jalla.

Bendera pun beralih ke tangan Ja’far bin Abi Thalib ra. Sepupu Rasulullah ini berperang sampai tangan kanannya putus. Bendera beliau pegangi dengan tangan kiri, dan akhirnya putus juga oleh tangan musuh. Dalam kondisi demikian, semangat beliau tak kenal surut, tetap berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya, sampai beliau gugur oleh senjata lawan.

Berdasarkan keterangan Ibnu ‘Umar ra, salah seorang saksi mata yang ikut serta dalam perang itu, terdapat tidak kurang 90 luka di bagian tubuh depan beliau, baik akibat tusukan pedang, maupun anak panah.

Giliran Abdullah bin Rawanah ra pun datang. Setelah menerjang musuh, ajal pun memjemput beliau di medan peperangan.

Tsabit bin Arqam ra mengambil bendera yang telah tak bertuan itu dan berteriak memanggil para Sahabat Nabi lainnya agar menentukan pengganti yang memimpin kaum muslimin.

Maka, pilihan mereka jatuh pada Khalid bin Walid ra. Dengan kecerdikan serta kecemerlangan siasat dan strategi, setelah taufik dari Allah Azza wa Jalla, kaum Muslimin berhasil memukul Romawi, hingga mengalami kerugian yang banyak.

Perang Ahzab



Perang Khandaq yang juga dikenal sebagai Pertempuran Al-Ahzab, Pertempuran Konfederasi, dan Pengepungan Madinah, terjadi pada bulan Syawal tahun 5 Hijriah atau pada tahun 627 Masehi. Pengepungan Madinah ini dipelopori oleh pasukan gabungan antara kaum kafir Quraisy Makkah dan Yahudi bani Nadhir (Al-Ahzab). Pengepungan Medinah dimulai pada 31 Maret, 627 H dan berakhir setelah 27 hari.

Dua puluh pimpinan Yahudi bani Nadhir datang ke Makkah untuk melakukan provokasi agar kaum kafir mau bersatu untuk menumpas kaum muslimin. Pimpinan Yahudi bani Nadhir juga mendatangi Bani Ghathafan dan mengajak mereka untuk melakukan apa yang mereka serukan pada orang Quraisy.

Selanjutnya mereka mendatangi kabilah-kabilah Arab di sekitar Makkah untuk melakukan hal yang sama. Semua kelompok itu akhirnya sepakat untuk bergabung dan menghabisi kaum muslimin di Madinah sampai ke akar-akarnya. 

Jumlah keseluruhan pasukan Ahzab (sekutu) adalah sekitar sepuluh ribu prajurit. Jumlah itu disebutkan dalam kitab sirah adalah lebih banyak ketimbang jumlah orang-orang yang tinggal di Madinah secara keseluruhan, termasuk wanita, anak-anak, pemuda dan orang tua.

Menghadapi kekuatan yang sangat besar ini, atas ide Salman al-Farisi, yang berasal dari Persia, kaum Muslimin menggunakan strategi penggalian parit (Khandaq) untuk menghalangi sampainya pasukan musuh ke wilayah Madinah.

Sejatinya strategi ini berasal dari Persia, yang dilakukan apabila mereka terkepung atau takut dengan keberadaan pasukan berkuda, maka dibuatlah parit-parit guna menghalangi serangan pasukan berkuda tersebut.

Lalu digalilah parit di bagian utara Madinah selama sembilan/sepuluh hari. Pasukan gabungan datang dengan kekuatan 10.000 pasukan yang siap berperang. Pasukan gabungan membuat kemah di bagian utara Madinah, karena di tempat itu adalah tempat yang paling tepat untuk melakukan pertempuran.

Pada Perang Khandaq, terjadi pengkhianatan dari kaum Yahudi Bani Qurayzhah atas kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya untuk mempertahankan kota Madinah, tetapi bani Quraizhah mengkhianati perjanjian itu.

Setelah terjadi pengepungan selama satu bulan penuh, Nua'im bin Mas'ud al-Asyja'i yang telah memeluk Islam, tanpa sepengetahuan pasukan gabungan dengan keahliannya telah memecah belah pasukan gabungan.

Lalu Allah SWT mengirimkan angin yang memporakporandakan kemah pasukan gabungan, memecahkan periuk-periuk mereka, dan memadamkan api mereka. Hingga akhirnya pasukan gabungan kembali ke rumah mereka dengan kegagalan dalam menaklukan kota Madinah.

Setelah peperangan itu, Rasulullah dan para sahabat berangkat menuju kediaman bani quraizah untuk mengadili mereka.

Perang Tabuk



Ekspedisi Tabuk atau Perang Tabuk adalah ekspedisi yang dilakukan umat Islam pimpinan Rasulullah pada 630 M atau 9 H, ke Tabuk, yang sekarang terletak di wilayah Arab Saudi barat laut.

Romawi memiliki kekuatan militer paling besar pada saat itu. Perang Tabuk merupakan kelanjutan dari perang Mu’tah. Kaum Muslimin mendengar persiapan besar-besaran yang dilakukan oleh pasukan Romawi dan raja Ghassan.

Informasi tentang jumlah pasukan yang dihimpun adalah sekitar empat puluh ribu hingga seratus ribu personil. Keadaan semakin kritis, karena suasana kemarau. Kaum Muslimin tengah berada di tengah kesulitan dan kekurangan pangan.

Mendengar persiapan besar pasukan Romawi, kaum Muslimin berlomba melakukan persiapan perang. Para tokoh sahabat memberi infaq fi sabilillah dalam suasana yang sangat mengagumkan.

Utsman menyedekahkan dua ratus ekor onta lengkap dengan pelana dan barang-barang yang diangkutnya. Kemudian ia menambahkan lagi sekitar seratus onta lengkap dengan pelana dan perlengkapannya.

Lalu ia datang lagi dengan membawa seribu dinar dan diletakkannya di pangkuan Rasulullah SAW. Utsman terus bersedekah, hingga jumlahnya mencapai sembilan ratus onta seratus kuda, dan uang dalam jumlah besar.

Abdurrahman bin Auf membawa dua ratus uqiyah perak. Abu bakar membawa seluruh hartanya dan tidak menyisakan untuk keluarganya, kecuali Allah dan Rasul-Nya.

Umar datang menyerahkan setengah hartanya. Abbas datang menyerahkan harta yang cukup banyak. Thalhah, Sa’d bin Ubadah, dan Muhammad bin Maslamah, semuanya datang memberikan sedekahnya. Ashim bin Adi datang dengan menyerahkan sembilan puluh wasaq kurma dan diikuti oleh para sahabat yang lain.

Jumlah pasukan Islam yang terkumpul sebenarnya cukup besar, tiga puluh ribu personil. Tapi mereka minim perlengkapan perang. Bekal makanan dan kendaraan yang ada masih sangat sedikit dibanding dengan jumlah pasukan.

Setiap delapan belas orang mendapat jatah satu onta yang mereka kendarai secara bergantian. Berulangkali mereka memakan dedaunan, sehingga bibir mereka rusak.

Mereka terpaksa menyembelih onta, meski jumlahnya sedikit, agar dapat meminum air yang terdapat dalam kantong air onta tersebut. Oleh karena itu, pasukan ini dinamakan jaisyul usrrah, atau pasukan yang berada dalam kesulitan..

Setelah sampai di Tabuk, umat Islam tidak menemukan pasukan Bizantium ataupun sekutunya. Menurut sumber-sumber Muslim, mereka menarik diri ke utara setelah mendengar kedatangannya pasukan Rasulullah. Namun, tidak ada sumber non-Muslim yang mengkonfirmasi hal ini.

Pasukan Muslim berada di Tabuk selama 10 hari. Ekspedisi ini dimanfaatkan Rasulullah untuk mengunjungi kabilah-kabilah yang ada di sekitar Tabuk. Hasilnya, banyak kabilah Arab yang sejak itu tidak lagi mematuhi Kekaisaran Bizantium, dan berpihak kepada Rasulullah dan umat Islam. Rasulullah juga berhasil mengumpulkan pajak dari kabilah-kabilah tersebut.

Saat hendak pulang dari Tabuk, rombongan Rasulullah didatangi oleh para pendeta Kristen di Lembah Sinai. Rasulullah berdiskusi dengan mereka, dan terjadi perjanjian yang mirip dengan Piagam Madinah bagi kaum Yahudi. Piagam ini berisi perdamaian antara umat Islam dan umat Kristen di daerah tersebut.

Rasulullah dan pasukan Muslimin akhirnya kembali ke Madinah setelah 30 hari meninggalkannya. Umat Islam maupun Kekaisaran Bizantium tidak menderita korban sama sekali dari peristiwa ini, karena pertempuran tidak pernah terjadi. 

Perang Khaibar

Khaibar adalah daerah yang ditempati oleh kaum Yahudi setelah diusir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Madinah tatkala mereka melanggar perjanian damai. Di sana mereka menyusun makar untuk melampiaskan dendamnya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Islam, dan kaum muslimin.

Dendam Yahudi memang telah menumpuk; mulai terusirnya Bani Qainuqa, Bani Nadhir, terbunuhnya dua tokoh mereka, hingga pembantaian terhadap Bani Quraizhah dan sejumlah tokoh mereka yang dibunuh oleh kaum muslimin.

Telah lewat pembahasan bahwa kaum Yahudi adalah penggerak pasukan Ahzab pada Perang Khandaq. Ini berarti kali yang keempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi umat Yahudi agar kita mengetahui bagaimana sejarah hitam umat Yahudi dan dendam mereka yang sangat mendalam terhadap Islam.

Pasukan Berangkat

Pada bulan Muharram tahun ketujuh Hijriah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama 1400 sahabat yang ikut di Hudaibiyah berangkat menuju Khaibar. Telah kita ketahui bahwa sepulang mereka dari Hudaibiyah Allah menurunkan ayat sebagai janji kemenangan dari-Nya dan perintah untuk memerangi Yahudi di Khaibar dalam firman-Nya:

Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan) mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 20)

Ulama ahli tafsir mengatakan bahwa Allah menjanjikan harta rampasan (ghanimah) yang banyak kepada kaum muslimin, sebagai pendahuluannya adalah harta rampasan yang mereka peroleh pada Perang Khaibar itu. Adapun orang-orang badui atau munafik tatkala mereka mengetahui para sahabat akan menang dan mendapat rampasan perang, maka mereka untuk ikut dalam peperangan tersebut supaya mendapat bagian dari ghanimah maka Allah berfirman,

Orang-orang Badui yang tinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan, “Biarkan kami, niscaya kami mengikuti kamu.’ Mereka hendak mengubah janji Allah. Katakanlah, ‘Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya.’ Mereka mengatakan, ‘Sebenarnya kamu dengki kepada kami.’ Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.” (QS. Al-Fath: 15)

Demikian itu karena Allah telah mengkhususkan rampasan Perang Khaibar sebagai balasan jihad, kesabaran, dan keikhlasan para sahabat yang ikut di Hudaibiyah saja.

Para sahabat berangkat dengan penuh keyakinan dan besar hati terhadap janji Allah, sekalipun mereka mengetahui bahwa Khaibar merupakan perkampungan Yahudi yang paling kokoh dan kuat dengan benteng berlapis dan persenjataan serta kesiapan perang yang mapan. Mereka berjalan sambil bertakbir dan bertahlil dengan mengangkat suara tinggi hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka dan memerintahkan agar merendahkan suara sebab Allah Maha Dekat, bersama kalian, tidak tuli, dan tidak jauh. (Bukhari: 4205)

Sebelum subuh mereka tiba di halaman Khaibar, sedang Yahudi tidak mengetahuinya. Tiba-tiba ketika berangkat ke tempat kerja, mereka (orang-orang Yahudi) dikejutkan dengan keberadaan tentara; maka mereka berkata, “Ini Muhammad bersama pasukan perang.” Mereka kembali masuk ke dalam benteng dalam keadaan takut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allahu Akbar, binasalah Khaibar. Sesungguhnya jika kami datang di tempat musuh maka hancurlah kaum tersebut.” (Bukhari dan Muslim)

Kaum muslimin menyerang dan mengepung benteng-benteng Yahudi, tetapi sebagian sahabat pembawa bendera perang tidak berhasil menguasai dan mengalahkan mereka hinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Besok akan kuserahkan bendera perang kepada seseorang yang Allah dan Rasul-Nya mencintai dan dia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memenangkan kaum muslimin lewat tangannya.” Maka para sahabat bergembira dengan kabar ini dan semua berharap agar bendera tersebut akan diserahkan kepadanya, hingga Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak pernah menginginkan kebesaran, kecuali pada Perang Khaibar.”

Pada pagi hari itu para sahabat bergegas untuk berkumpul di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing berharap akan diserahi bendera komando. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dimanakah Ali?” Meraka menjawab, “Dia sedang sakit mata, sekarang berada di perkemahannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Panggillah dia.” Maka mereka memanggilnya. Ali radhiallahu ‘anhu datang dalam keadaan sakit mata (trahom), lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi matanya dan sembuh seketika, seakan-akan tidak pernah merasakan sakit. Beliau menyerahkan bendera perang dan berwasiat kepadanya, “Ajaklah mereka kepada Islam sebelum engkau memerangi mereka. Sebab, demi Allah, seandainya Allah memberi hidayah seorang di antara mereka lewat tanganmu maka sungguh itu lebih baik bagimu dari pada onta merah (harta bangsa Arab yang paling mewah ketika itu).” (Muslim)

Perang Tanding

Tatkala berlangsung pengepungan benteng-benteng Yahudi, tiba-tiba pahlawan andalan mereka bernama Marhab menantang dan mengajak sahabat untuk perang tanding. Amir bin Akwa radhiallahu ‘anhu melawannya dan beliau terbunuh mati syahid. Lalu Ali radhiallahu ‘anhu melawannya hingga membunuhnya dan menyebabkan runtuhnya mental kaum Yahudi dan sebagai sebab kekalahan mereka.

Benteng Khaibar terdiri dari tiga lapis, dan masing-masing terdiri atas tiga benteng. Kaum muslimin memerangi dan menguasai benteng demi benteng. Setiap kali Yahudi kalah dari pertahanan pada satu benteng, mereka berlindung dan berperang dalam benteng lainnya hingga kemenagan mutlak berada di tangan kaum muslimin.

Korban Perang

Dalam peperangan ini terbunuh dari kaum Yahudi puluhan orang, sedang wanita dan anak-anak ditawan. Termasuk dalam tawanan adalah Shofiyah binti Huyai yang jatuh di tangan Dihyah al-Kalbi lalu dibeli oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam darinya. Beliau mengajaknya masuk Islam lalu menikahinya dengan mahar memerdekakannya. Adapun yang mati syahid dari kaum muslimin sebanyak belasan orang.

Di antara yang mati syahid adalah seorang badui yang datang dan masuk Islam dan memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk hijrah dan tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperoleh rampasan Perang Khaibar maka beliau memberinya bagian, tetapi dia berkata, “Wahai Rasulullah, aku mengikutimu bukan untuk tujuan ini, melainkan agar aku terkena panah di sini (sambil memberi isyarat pada lehernya) sehingga aku masuk surga.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Jika kamu jujur kepada Allah maka pasti Allah buktikan.” Tidak lama kemudian jenazahnya dibawa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terluka pada tempat yang dia isyaratkan sebelumnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Orang ini jujur kepada Allah. Oleh karenanya, Allah memenuhi niatnya yang baik.” Lalu beliau mengafaninya dan memakamkannya. (Mushonnaf Abdurrozaq dengan sanad yang baik, 5:276)

Daging Beracun

Kaum Yahudi tidak pernah dan tidak akan berhenti dari makar buruk terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Islam karena tabiat mereka, sebagaimana digambarkan oleh Allah dalam Alquran:

Mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak.” (QS. Ali Imron: 112)

Tatkala mereka kalah dari Perang Khaibar dan beberapa kali upaya untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam gagal, maka mereka bermaksud untuk membunuh beliau dengan siasat baru. Seorang wanita Yahudi berperan besar dalam makar buruk ini, yaitu memberi hadiah berupa menyuguhkan hidangan daging kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyisipkan racun yang banyak padanya.

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan, daging tersebut mengabari beliau bahwa ia beracun. Maka beliau memuntahkannya. Ini merupakan mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih mulia daripada mukjizat Nabi Sulaiman ‘alaihissalam yang memahami bahasa semut sebab ia makhluk hidup yang bernyawa memiiki mulut untuk berbicara, sedangkan sepotong daging tersebut sebagai makhluk yang mati bahkan telah matang dipanggang dengan api.

Adapun Bisri bin Baru radhiallahu ‘anhu, yang ikut makan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggal dunia karena racun tersebut. Sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membunuh wanita ini sebagai qishosh.

Perdamaian

Setelah umat Yahudi kalah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud untuk mengusir mereka dari Khaibar. Akan tetapi mereka memohon kepada beliau agar membiarkan mereka mengurusi pertanian dengan perjanjian bagi hasil, maka Rasulullah menerima permohonan itu dengan syarat kapan saja beliau menghendaki maka beliau berhak untuk mengusir mereka. Hingga akhirnya mereka diusir oleh Umar bin Khaththab di zaman kekhalifahannya setelah beberapa kali mereka berbuat kejahatan terhadap kaum muslimin.

Pembagian Rampasan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi rampasan perang kepada sahabat yang ikut perang yang berjumlah 1400 orang. Namun, seusai perang ini para rombongan Muhajirin berjumlah 53 orang dari Habasyah yang dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu datang dan bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Khaibar. Beliau sangat gembira dengan kedatangan mereka. Beliau merangkul Ja’far radhiallahu ‘anhu serta menciumnya seraya bersabda, “Aku tidak mengetahui apakah aku bergembira karena menang dari Khaibar ataukah karena kedatangan rombongan Ja’far.” (Shahih Abu Dawud: 5220)

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi mereka bagian dari rampasan perang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberi bagian kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dan beberapa orang dari suku Daus yang baru datang dalam keadaan Islam. Semua ini beliau lakukan dengan izin dan keikhlasan dari sahabat yang ikut Perang Khaibar dan karena mereka ini terhalang oleh udzur, jika tidak maka pasti mereka akan ikut berperang.

Bahaya Ghulul

Ghulul adalah mengambil rampasan perang sebelum dibagi. Mid’am, seorang pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggal dunia akibat terkena panah. Maka sahabat mengatakan, “Alangkah nikmat, baginya surga.” Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, demi Allah, sesungguhnya pakaian yang diambilnya dari rampasan Khaibar sebelum dibagi menjadi bahan bakar api neraka.” Mendengar ini, ada seseorang yang datang mengaku, “Ini satu atau dua tali sandal aku peroleh sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu termasuk neraka.” (Bukhari dan Muslim)

Yahudi Fadak

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengauasai dan mengalahkan Khaibar maka Allah menanamkan rasa takut ke dalam hati orang-orang Yahudi di Fadak –sebelah utara Khaibar-, mereka segera mengirim utusan kepada Rasulullah untuk perjanjian damai dengan menyerahkan separuh bumi Fadak kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima tawaran tersebut dan beliau khususkan untuk dirinya sebab ia termasuk rampasan perang (fai) yang diperoleh tanpa perang (pertempuran).

Juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi Yahudi di Wadi Quro hingga mereka menyerah dan kalah. Mengetahui hal ini, Yahudi Taima’ juga segera berdamai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membayar jizyah (upeti, red.)

Pelajaran

Dalam peperangan Khaibar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan makan daging keledai piaraan.Tampak mukjizat kenabian seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi mata Ali radhiallahu ‘anhu lalu sembuh, daging yang mengabari beliau bahwa ia mengandung racun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meniup tiga kali pada bekas pukulan pedang yang mengenai lutut Salah bin Akwa radhiallahu ‘anhu lalu dia tidak kesakitan setelah itu.Boleh berdamai dengan Yahudi dalam waktu yang ditentukan dan boleh memerangi orang kafir pada bulan haram. Lihat Sirah Nabawiiyyah karya Dr. Mahdi Rizqulloh Ahmad: 479-492.