Jumat, 12 Mei 2017

Bangsa Arab Sebelum Islam Datang

Kondisi Sosial, Budaya, Agama, Ekonomi dan Politik

A.  Pendahuluan

Masa sebelum Islam, khususnya kawasan jazi>rah Arab, disebut masaja>hiliyyah.[1] Julukan semacam ini terlahir disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya Arab pedalaman (badui) yang hidup menyatu dengan padang pasir dan area tanah yang gersang. Mereka pada umumnya hidup berkabilah dan nomaden. Mereka berada dalam lingkungan miskin pengetahuan. Situasi yang penuh dengan kegelapan dan kebodohan tersebut, mengakibatkan mereka sesat jalan, tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan, membunuh anak dengan dalih kemuliaan, memusnahkan kekayaan dengan perjudian, membangkitkan peperangan dengan alasan harga diri dan kepahlawanan. Suasana semacam ini terus berlangsung hingga datang Islam di tengah-tengah mereka.   

Namun demikian, bukan berarti masyarakat Arab pada waktu itu sama sekali tidak memiliki peradaban. Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang cukup strategis, terutama kawasan pesisir yang pada waktu itu ramai dilalui kapal-kapal pedagang Eropa yang hendak menuju India, Asia Tenggara, Cina dan sekitarnya, telah membuat kawasan ini lebih maju dari pada kawasan Arab yang lain. Makkah pada waktu itu merupakan kota dagang bertaraf internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan penghubung jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria.

Rentetan peristiwa yang melatar belakangi lahirnya Islam merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji. Hal demikian karena tidak ada satu pun peristiwa di dunia yang terlepas dari konteks historis dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Artinya, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya terdapat hubungan yang erat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan Islam dengan situasi dan kondisi Arab pra Islam.

B.   Geografis Jazi>rah Arab

Semenanjung Arab adalah semenanjung yang terletak di sebelah barat daya Asia. Wilayahnya memiliki luas 1.745.900 kilometer persegi.[2]Semenanjung ini dinamakan jazi>rahkarena tiga sisinya berbatasan dengan air, yakni di sebelah timur berbatasan dengan teluk Oman dan teluk Persi, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia dan teluk Aden, di sebelah barat berbatasan dengan laut merah. Hanya di sebelah utara,jazi>rah ini berbatasan dengan daratan atau padang pasir Irak dan Syiria.[3]

Secara geografis, daratan jazi>rah Arab didominasi padang pasir yang luas, serta memiliki iklim yang panas dan kering. Hampir lima per enam daerahnya terdiri dari padang pasir dan gunung batu.[4] Luas padang pasir ini diklasifikasikan Ahmad Amin sebagai berikut:

1.      Sahara Langit, yakni yang memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat. Sahara ini disebut juga sahara Nufu>d. Di daerah ini, jarang sekali ditemukan lembah dan mata air. Angin disertai debu telah menjadi ciri khas suasana di tempat ini. Hal itulah yang menyebabkan daerah ini sulit dilalui.

2.      Sahara Selatan, yakni yang membentang dan menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus, dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan daerah sepi (al-Rub’ al-Kha>li>).

3.      Sahara Harrat, yakni suatu daerah yang terdiri dari tanah liat berbatu hitam. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di seluruh sahara ini.[5]

Secara garis besar, jazi>rah Arab dibedakan menjadi dua, yakni daerah pedalaman dan pesisir. Daerah pedalaman jarang sekali mendapatkan hujan, namun sesekali hujan turun dengan lebatnya. Kesempatan demikian biasa dimanfaatkan penduduk nomadik dengan mencari genangan air dan padang rumput demi keberlangsungan hidup mereka. Sedangkan daerah pesisir, hujan turun dengan teratur, sehingga para penduduk daerah tersebut relatif padat dan sudah bertempat tinggal tetap. Oleh karena itu, di daerah pesisir ini, jauh sebelum Islam lahir, sudah berkembang kota-kota dan kerajaan-kerajaan penting, seperti kerajaan Himyar, Saba’, Hirah dan Ghassan.[6]

C.   Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat

Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah. Mereka termasuk ras atau rumpun bangsa kaukasoid, sebagaimana ras-ras yang mendiami daerah Mediteranian, Nordic, Alpine dan Indic.[7]

Bangsa Arab hidup berpindah-pindah (nomad). Demikian ini karena kondisi tanah tempat mereka hidup terdiri dari gurun pasir kering dan minim turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya stepa (padang rumput) yang muncul secara sporadis di sekitar oasis atau genangan air setelah turun hujan. Padang rumput diperlukan badui Arab untuk kebutuhan makan binatang ternak seperti kuda, onta dan domba.

Berbeda halnya dengan penduduk Arab perkotaan terutama penduduk pesisir, pertanian, peternakan dan perdangangan, dapat berkembang dengan baik di daerah tersebut. Hal inilah tentunya yang membuat kehidupan masyarakat pesisir lebih makmur daripada masyarakat pedalaman (badui). Dari realitas ini, maka timbullah reaksi antara penduduk kota atau pesisir dengan penduduk pedalaman atau badui.

Aksi dan reaksi antara penduduk kota dengan masyarakat gurun dimotivasi oleh desakan kuat untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Orang-orang nomad bersikeras mendapatkan sumber-sumber tertentu pada orang-orang kota terhadap apa yang tidak mereka miliki dari lingkungan mereka tinggal. Hal itu dilakukan baik melalui kekerasan (penyerbuan kilat) atau jalan damai (barter). Orang-orang badui nomaden dikenal sebagai perampok darat dan makelar. Gurun pasir, yang merupakan daerah operasi mereka sebagai perampok, memiliki kesamaan karakteristik dengan laut.[8]

Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (trible) dan dipimpin olehShaikh.[9] Keeratan hubungan kesukuan, kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Maka tidak heran, jika peperangan antar suku menjadi ciri khas masyarakat ini. Rendahnya harga wanita seakan-akan menjadi akibat dari keadaan masyarakat yang suka berperang tersebut.

Akibat tradisi peperangan ini, kebudayaan mereka tidak berkembang. Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra Islam langka didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Ahmad Shalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam.[10]Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para pe-ra>wi> syair. Dengan begitulah sejarah dan sifat masyarakat Arab dapat diketahui, yang antara lain bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.

Dengan kondisi alami yang seperti tidak pernah berubah itu, masyarakat badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni dari bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf permulaan perkembangan budaya. Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh penduduk badui adalah penyair.[11]

Lain halnya dengan penduduk kota yang memiliki kemajuan peradaban, sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalami perubahan seiring dengan perubahan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Mereka telah mampu berkarya seperti membuat alat-alat dari besi, bahkan sampai mendirikan kerajaan-kerajaan. Sampai pada lahirnya Nabi Muh}ammad, daerah-daerah tersebut masih merupakan kota-kota perniagaan, sebagaimana diketahui bahwa daerah tersebut merupakan jalur perdagangan antara Eropa dan Asia. Sebagaimana masyarakat badui, penduduk daerah ini juga mahir bersyair. Biasanya, syair-syair dibacakan di pasar-pasar, semacam pagelaran pembacaan syair, seperti yang terjadi di pasar ukaz. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan, tata bahasa dan kiasan.[12]

D.  Kondisi Perekonomian

Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena pertanian yang telah maju. Kemajuan ini ditandai dengan adanya kegiatan ekspor-impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang Islam lahir telah mengadakan transaksi dengan Hindia, Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah intan.[13] Data ini menunjukkan bahwa perdagangan merupakan urat nadi perekonomian yang sangat penting sehingga kebijakan politik yang dilakukan memang dalam rangka mengamankan jalur perdagangan ini.

Faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab pra Islam sebagaimana dikemukakan Burhan al-Di>n Dallu adalah sebagai berikut:

1.      Kemajuan produksi lokal serta kemajuan aspek pertanian.

2.      Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling bergengsi.

3.      Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan lokal maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan penguasa Syam, Persia dan Ethiopia di pihak lain.

4.      Letak geografis Hijaz yang sangat strategis di jazi>rah Arab.

5.      Mundurnya perekonomian dua imperium besar, Byzantium dan Sasaniah, karena keduanya terlibat peperangan terus menerus.

6.      Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke tangan Persia pada tahun 257 M.

7.      Dibangunnya pasar lokal dan pasa musiman di Hijaz, seperti Ukaz, Majna, Zu al-Majaz, pasar bani Qainuna, Dumat al-Jandal, Yamamah dan pasar Wahat.

8.      Terblokadenya lalu lintas perdagangan Byzantium di utara Hijaz dan laut merah.

9.      Terisolasinya perdagangan orang Ethiopia di laut merah karena diblokade tentara Yaman pada tahun 575 M.[14]

Data-data yang dikemukakan Dallu menunjukkan bahwa antara ekonomi dan politik tidak dapat dipisahkan dalam konteks kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Kehidupan politik Byzantium dan Sasaniah turut memberikan sumbangan dalam memajukan proses perdagangan yang berlangsung di Hijaz, karena kedua kerajaan ini sangat berkepentingan terhadap jalur perdagangan ini.

Di lain sisi, Mekkah di mana terdapat ka’bah yang pada waktu itu sebagai pusat kegiatan Agama, telah menjadi jalur perdagangan internasional.[15] Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari Abysinia ke Irak. Pada mulanya Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di samping juga pusat kegiatan agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka para pengunjung merasa terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus menghentikan segala permusuhan selama masih berada di daerah tersebut. Untuk menjamin keamanan dalam perjalanan suatu sistem keamanan di bulan-bulan suci, ditetapkan oleh suku-suku yang ada di sekitarnya.[16]Keberhasilan sistem ini mengakibatkan berkembangnya perdagangan yang pada gilirannya menyebabkan munculnya tempat-tempat perdagangan baru.

Dengan posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan bertaraf internasional, komoditas-komoditas yang diperdagangkan tentu saja barang-barang mewah seperti emas, perak, sutra, rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain. Walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya para pedagang Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh sukses besar, sehingga mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang bisnis.[17]

E.   Situasi Politik

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengahJazi>rah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta adanya tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara.[18]

Sementara menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam struktur masyarakat Arab pra Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan tidak tertulis. Sehingga pemimpin tidak mempunyai hak memerintah dan menjatuhkan hukuman pada anggotanya.[19] Namun dalam bidang perdagangan, peran pemimpin suku sangat kuat. Hal ini tercermin dalam perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibuat antara pemimpin suku di Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim, Ghassaniah, Hirah, Suriah, dab Ethiopia.

Model organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah). Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni seorang pemimpin yang dipilih antara sesama anggota. Shaikh  dipilih dari suku yang lebih tua, biasanya dari anggota yang masih memiliki hubungan famili. Fungsi pemerintahan Shaikh ini lebih banyak bersifat penengah (arbitrasi) dari pada memberi komando. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban hanya melekat pada warga suku secara individual, serta tidak mengikat pada warga suku lain.[20]

F.   Keberagamaan Masyarakat

Penduduk Arab menganut agama yang bermacam-macam. Paganisme, Yahudi, dan Kristen merupakan ragam agama orang Arab pra Islam. Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-hala itu: s}anam, wathan, nus}ub, dan hubal. S}anam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nus}ub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. H}ubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjurujazi>rah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri.[21] Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di Syiria dan Mesir.[22]

Agama Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini diJazi>rah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwāsmerupakan penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi. sehingga kalaumereka menolak, maka akan dibunuh.Namun yang terjadi justru menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu, serta dibunuh dengan pedang ataudilukai sampai cacat bagi yang selamat dari api tersebut. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit”(As}h}a>b al-Ukhdu>d).[23]

Sedangkan Agama Kristen di jazi>rahArab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang tampak hanyalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen. Menurut Muhammad ‘A<bid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Nas}a>ra>” bukan “al-Masi>hi>yah” dan “al-Masi>hi>” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Nas}a>ra” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “H{awa>ri>yu>n”. Para misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu madhab-madhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk jazi>rah Arab dan sekitarnya.[24]Sekte Arius menyebar di bagian selatanjazi>rah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia. Misionaris sekte ini telah menjelajahi penjuru-penjuru jazi>rah Arab yang memastikan bahwa dakwah mereka telah sampai di Mekah, baik melalui misionaris atau pedagang Quraish yang berhubungan terus-menerus dengan Syam, Yaman, dan Habashah.[25] Tetapi salah satu sekte yang sejalan dengan tauhid murni agama samawi adalah sekte Ebionestes.[26]

Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas adalah Hani>fi>yah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Hani>fi>yah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, T{aif, dan Mekah.[27]

G.  Kesimpulan

Secara sosiologis, bangsa Arab sebelum Islam merupakan bangsa yang hidup secara kesukuan. Mereka hidup berpindah-pindah. Hal ini disebabkan kondisi geografis yang tidak mendukung, seperti model tanah yang tandus, berbatu, padang pasir luas serta beriklim panas dan jarang turun hujan. Dalam keadaan semacam ini, wajar jika mereka memiliki watak keras, suka berperang, merampok, berjudi, berzina, sehingga terkesan jauh dari nilai-nilai moral-kemanusiaan. Demikian ini seakan-akan menjadi tradisi masyarakat Arab sebelum Islam. Keadaan semacam inilah yang meniscayakan zaman tersebut disebut zaman ja>hiliyyah.

Dari sisi perekonomian, unsur penting yang menjadi andalan masyarakat Arab pra Islam adalah perdagangan di samping bertani dan beternak. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Terbukti dengan adanya Mekkah sebagai kota dagang internasional. Demikian ini karena letak daerah Hijaz, khususnya Mekkah, sangatlah strategis, yakni penghubung jalur dagang antara Yaman dengan Syiria. Di samping itu, daerah pesisir ini juga di lewati kapal-kapal dagang Eropa dan Asia melalui laut merah.

Dunia politik Arab pra Islam lebih didominasi oleh model kesukuan. Pimpinan tertinggi dari suku dinamakan Shaikh.Fungsi pemerintahan Shaikh ini lebih banyak bersifat penengah (arbitrasi) dari pada memberi komando. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Dari dominasi model kesukuan ini, terbentuknya Negara kesatuan serta adanya tatanan politik yang benar agaknya sedikit terhalangi.

Sementara jika ditinjau dari sisi keagamaan, masyarakat Arab pra Islam memeluk berbagai macam agama, di antaranya Paganisme, Yahudi, Kristen danHani>fi>yah. Agama-agama ini merupakan agama warisan dari pendahu-pendahulunya. Keadaan tersebut masing terus berlangsung sampai datangnya Islam sebagai agama yang hak, serta penyempurna dari agama-agama samawi sebelumnya.







DAFTAR PUSTAKA

Ami>n, Ahmad. Fajr al-Isla>m. Kairo: Maktabah Najdah al-Mis}riyyah, 1975.

A’z}amī, M.M. al-. Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi. Jakarta: Gema Insani, 2005.

Dallu, Burhan al-Di>n. Jazi>rat al-‘Arab Qabl al-Isla>m. Beirut: t.p, 1989.

Dawrī, ‘Abd al-‘Azīz al-. Muqaddimah fī Ta>rīkh adr al-Isla>m. Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007.

Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah (Malang: UIN Malang Press, 2008

Haekal, Muh}ammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah. Jakarta; Litera Antar Nusa, 2011.

Hitti, Philip K. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.

Karim, Khalil Abdul. Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan. Yogyakarta: LKiS, 2003.

Leboun, Gustav. Had}a>ra>t al-‘Arab. Kairo: Mat}ba‘ah ‘Isa al-Ba>bi> al-Halabi>, t.t.

Lewis, Bernard. Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri. Jakarta: Ilmu Jaya, 1994.

Mufrrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos, 1997.

Mughni, Syafiq A. “Masyarakat Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, I. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Mujahidin, Ahmad. “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-Negara Sekitarnya”. Jurnal Akademika, Volume 12 Nomor 2. Maret, 2003.

Nicholson, R.A. A Literary History of The Arabs. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.

Shalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi Latief. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983.

Watt, Montgomery. Muhammad at Mecca. Oxford: Oxford University Press, 1956.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2010.

[1]Al-Qur-a>n, 33 (al-Ah}za>b): 33.

[2]Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), 16.

[3]Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah (Malang: UIN Malang Press, 2008), 43.

[4]Ibid., 43-44.

[5]Ahmad Ami>n, Fajr al-Isla>m (Kairo: Maktabah Najdah al-Mis}riyyah, 1975), 1-2.

[6]Ahmad Mujahidin, “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-Negara Sekitarnya”, Jurnal Akademika, Volume 12, Nomor 2 (Maret, 2003), 4.

[7]Ali Mufrrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), 5. Ras lain ialah Mongoloid, Negroid dan ras-ras khusus.

[8]Philip K. Hitti, History of The Arabs, 28.

[9]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 11.

[10]A. Shalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi Latief (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), 29.

[11]Gustav Leboun, Had}a>ra>t al-‘Arab (Kairo: Mat}ba‘ah ‘Isa al-Ba>bi> al-Halabi>, t.t), 72.

[12]Badri Yatim, Sejarah Peradaban…, 12.

[13]Syafiq A. Mughni, “Masyarakat Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 15.

[14]Burhan al-Di>n Dallu, Jazi>rat al-‘Arab Qabl al-Isla>m (Beirut: t.p, 1989), 129-130.

[15]Montgomery Watt, Muhammad at Mecca (Oxford: Oxford University Press, 1956), 2-3.

[16]Ahmad Mujahidin, “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan Negara-Negara Sekitarnya”, Jurnal Akademika, Volume 12, Nomor 2 (Maret, 2003), 12-13.

[17]Ibid., 13.

[18]‘Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fīTa>rīkh adr al-Isla>m (Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007), 41.

[19]R.A Nicholson, A Literary History of The Arabs (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 83.

[20]Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri (Jakarta: Ilmu Jaya, 1994), 10.

[21]Muh}ammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad,  terj. Ali Audah (Jakarta; Litera Antar Nusa, 2011), 19-20.

[22]M.M. al-A‘z}amī, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi (Jakarta: Gema Insani, 2005), 23.  

[23]Muh}ammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 10-11. Lihat: Al-Qur-a>n, 85 (al-Buru>j): 4-6.

[24]Muh}ammad ‘A<bid Al-Jābirī, Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm (Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007), 38-46.

[25]Ibid., 58.

[26]Ibid., 41-42.

[27]Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan (Yogyakarta: LKiS, 2003), 15-16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar