Sabtu, 13 Mei 2017

Kerajaan Islam Cirebon

A. Sejarah

Letak Kerajaan Cirebon Semula Cirebon termasuk dalam daerah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran, bahkan menjadi salah satu kota pelabuhan kerajaan tersebut.

Awal Mula Berdirinya Kerajaan Cirebon Pada tahun 1302 cirebon mempunyai 3 daerah otonom di bawah kekuasaan kerajaan Pajajaran yang masing-masing di kuasai oleh seorang Mangkubumi . 3 daerah otonom itu adalah Singapura atau Mertasinga yang dikepalai oleh Mangkubumi Singapura. Daerah Pesambangan yang dikepalai oleh Ki Ageng Jumajan Jati.

Dan Daerah Japura yang dikepalai oleh Ki Ageng Japura. Ketiga daerah otonom tersebut masing-masing mengirimkan upeti setiap tahunnya kepada kerajaan Pajajaran (. Semula Cirebon termasuk dalam daerah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran, bahkan menjadi salah satu kota pelabuhan kerajaan tersebut. Sekitar tahun 1513 cirebon ini tidak lagi dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, namun sudah di beritakan masuk ke dalam daerah jawa di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Saat itu Cirebon di kuasai oleh Lebe Usa Syarif Hidayatullah atau yang sering di kenal dengan Sunan Gunung Jati telah datang di Cirebon pada tahun 1470. Syarif Hidayatullah datang untuk mengajarka agama Islam. Syarif Hidayatullah mengajarkan agama Islam di Gunung Sembung. Syarif Hidayatullah adalah putra dari wanita asal Galuh, Caruban. Wanita tersebut adalah NhayLara Santang yaitu adik dari Pangeran Cakrabuana pemimpin Cirebon. Syarih Hidayatullah Mengajarkan agama islam ditemanni dengan uaknya Haji Abdullah Iman dan pangeran Cakrabumi atau pangeran Cakrabuana. Haji Abdullah Iman dan Pangeran Cakrabuana sudah lebih dahulu berada atau tinggal di Cirebon. Syarif Hidayatullah menikah dengan Pakung Wati. Pakung Wati adalah putri dari Uaknya. Syarif Hidayatullah menggantikan mertuanya sebagai penguasa Cirebon pada tahun 1479. Setelah menikah dan menjadi penguasa Cirebon, Syarif Hidayatullah membangun atau mendirikan sebuah kraton. Karaton itu diberi nama Kraton Pakung Wati. Kraton Pakung Wati terletak disebalah timur Kraton Sultan Kesepuluhan sekarang ini. Syarif Hidayatullah ini terkenak dengan Gelar Gusuhunan Jati atau sering dikenal dengan Sunan Gunungjati. Syarif Hidayatullah menjadi saleh seorang dari Wali Sanga. Syarif Hidayatullah mendapat Julukan Pandita Ratu sejak ia berfungsi sebagai penyebar Agama Islam di tanah Sunda dan Sebagai Kepala Pemerintahan. Semenjak Syarif Hidayatullah menjadi penguasa di Cirebon, Cirebon menghentikan upeti ke pusat Kerajaan Pajajaran di pangkuan. Sejak saat itulah Cirebon menjadi Kerajaan yang dikepalai oleh Syarif Hidayatullah.

B.  Nama-nama raja/silsilah raja

SILSILAH PARA SULTAN KANOMAN

1. Sunan Gunung Jati Syech Hidayahtullah
2. Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin
3. Panembahan Sedang Kemuning
4. Panembahan Ratu Cirebon
5. Panembahan Mande Gayem
6. Panembahan Girilaya
7. Para Sultan :
1. Sultan Kanoman I (Sultan Badridin)
2. Sultan Kanoman II ( Sultan Muhamamad Chadirudin)
3. Sultan Kanoman III (Sultan Muhamamad Alimudin)
4. Sultan Kanoman IV (Sultan Muhamamad Chadirudin)
5. Sultan Kanoman V (Sultan Muhamamad Imammudin)
6. Sultan Kanoman VI (Sultan Muhamamad Kamaroedin I)
7. Sultan Kanoman VII (Sultan Muhamamad Kamaroedin )
8. Sultan Kanoman VIII (Sultan Muhamamad Dulkarnaen)
9. Sultan Kanoman IX (Sultan Muhamamad Nurbuat)
10. Sultan Kanoman X (Sultan Muhamamad Nurus)
11. Sultan Kanoman XI (Sultan Muhamamad Jalalludin)

SILSILAH SULTAN KASEPUHAN CIREBON

1. Pangeran Pasarean
2. Pangeran Dipati Carbon
3. Panembahan Ratu
4. Pangeran Dipati Carbon
5. Panembahan Girilaya
6. Sultan Raja Syamsudin
7. Sultan Raja Tajularipin Jamaludin
8. Sultan Sepuh Raja Jaenudin
9. Sultan Sepuh Raja Suna Moh Jaenudin
10. Sultan Sepuh Safidin Matangaji
11. Sultan Sepuh Hasanudin
12. Sultan Sepuh I
13. Sultan Sepuh Raja Samsudin I
14. Sultan Sepuh Raja Samsudin II
15. Sultan Sepuh Raja Ningrat
16. Sultan Sepuh Jamaludin Aluda
17. Sultan Sepuh Raja Rajaningrat
18. Sultan Pangeran Raja Adipati H. Maulana Pakuningrat, SH19. Sultan Pangeran Raja Adipati Arif Natadiningrat

SILSILAH SULTAN KERATON KECERIBONAN

1.      Pangeran Pasarean
2. Pangeran Dipati Carbon
3. Panembahan Ratu Pangeran Dipati Anom Carbon
4. Pangeran Dipati Anom Carbon
5. Panembahan Girilaya
6. Sultan Moh Badridini Kanoman
7. Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman
8. Sultan Anom Alimudin
9. Sultan Anom Moh Kaerudin
10. Sultan Carbon Kaeribonan
11. Pangeran Raja Madenda
12. Pangeran Raja Denda Wijaya
13. Pangeran Raharja Madenda
14. Pangeran Raja Madenda
15. Pangeran Sidek Arjaningrat
16. Pangeran Harkat Nata Diningrat
17. Pangeran Moh Mulyono Ami Natadiningrat
18. KGPH Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga

SILSILAH PANEMBAHAN CIREBON

1. Sunan Gunung Jati Syech Hidayatullah
2. Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin
3. Panembahan Sedang Kemuning
4. Panembahan Ratu Cirebon
5. Panembahan Mande Gayem
6. Panembahan Girilaya
7. Pangeran Wangsakerta (Panembahan Cirebon I)
8. Panembahan Cirebon II (Syech Moch. Abdullah)
9. Panembahan Cirebon III (Syech Moch. Abdullah II)
10. Panembahan Syech Kalibata
11. Panembahan Syech Moch. Abdurrohman
12. Panembahan Syech Moch. Yusuf
13. Panembahan Moch. Abdullah
14. Panembahan Jaga Raksa
15. K.H Moch. Syafe’i
16. K.H Moch. Muskawi
17. H. Moch. Parma
18. H. Salimmudin
19. Hj. Siti Ruqoyah

C.   Masa kejayaan

Kerajaan Cirebon berada pada puncak kejayaan ketika dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah putra wanita asal Galuh-Caruban yaitu Nhay Lara Santang adik dari Pangeran Cakrabuwana pemimpin Caruban yang menikah dengan Mauana Sultan Muhammad. Ketika Syarif Hidayat berusia duapuluh tahun, ia pergi ke Makkah berguru kepada Syeh Tajamudin Al ubri, di sini ia tinggal selama dua tahun, setelah tamat dari Syeh Tajamudin kemudian Syarif Hidayat, meneruskan pelajaran kepada Syeh Ataillah Syazalli, masih di Mekkah juga selama dua tahun. Ketika Cirebon mengalami kejayaan pada masa Syarif Hidayatullah sudah tidak diragukan lagi, karena pengalaman ilmu yang didapat sangat luar biasa. Itu dapat kita lihat dari beliau mempunyai dua guru besar yang ada di Mekkah. Syarif hidayatullah juga pernah belajar Tasawuf di Bagdad. Beliau di Bagdad beliau belajar tasawuf selam dua tahun. Kemudian beliau kembali ke negerinya yaitu Oqnah Yutra. Kemudain beliau memutuskan untuk pergi ke Jawa karena beliau ingin menjadi mubaligh di Jawa. Dalam perjalanannya ke pulau Jawa Syarif Hidayatullah sempat singgah di Gujarat. Setelah dari Gujarat, Srarif Hidayat singgal dan tinngal pula di Samudera Pasai, sebuah tempat di Aceh yang pada masa itu sudah merupakan Kerajaan Islam yang cukup besar karena sudah berdiri sejak 1296. Kemudian Syarif Hidayatullah melanjutkan perjalannanya ke Banten, kemudian ke Ampel.. Setelah dari Ampel, kemudian beliau menuju Cirebon untuk menyiarkan agama Islam atas perintah dari para wali. Disisi lain Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Pangeran Cakrabuwana pemimpin Caruban. mendirikan pesantren di Cirebon menjadi hal yang mudah bagi Syarif Hidayatullah. Diperkirakan pada suatu waktu ada beberapa orang dari Banten yang sengaja datang ke Pasambangan menemui Syeh Jati (yang sudah dikenal di Banten karena pernah tinggal di sini beberapa waktu lamanya setibanya dari Samudera Pasai), dan mengajukan permohonan kepada Syeh jati untuk memberikan pelajaran Agama Islam di Banten . Ketika berada di Banten, Syarif Hidayatullah diminta untuk segera kembali ke Cirebon oleh Pangeran Cakrabuwana. Karena kehadiran dan tenaganya sangat dibutuhkan di Cirebon. Ternyata Pangeran Cakranuwana sudah lama mempunyai rencana dan ingin cepat merealisasikan rencananya itu untuk menobatkan Syarif Hidayatullah sebagai penguasa di nagari Caruban menggantikan dirinya . Penobatan Syarif Hidayatullah menjadi Tumenggung di Cirebon merupakan era baru bagi Cirebon. Beliaulah yang mengganti nama Cirebon yang dulunya adalah Caruban, dan diganti dengan Cerbon dan terus berkembang menjadi Cirebon. Masa kejayaan kerajaan Cirebon di awali dari perkembangan Islam. Pada masa Syarif hidayatullah Islam berkembang dengan pesat. Sudah tidak kaget lagi ketika Islam mengalami perkembangan yang pesat. Memang tujuan utama Syarif Hidayatullah ke pulau Jawa adalah menjadi mubaligh untuk menyiarkan Islam. Disisi lain gaya komunikasi yang digunakan sehingga dapat membius pribumi Cirebon untuk masuk Islam. Silsilah dari Syarif Hidayatullah juga yang dapat dengan mudah menjadi keyakinan pribumi beliau, yaitu cucu dari Prabu Siliwangi. Kejayaan kerajaan Cirebon tidak lepas dari campur tangan Pangeran Cakrabuwana. Menurut perkiraan beberapa waktu sebelum penobatan, syarif Hidayatullah dengan Pangeran Cakrabuwana telah membicarakan tentang berbagai konsep pembangunan negara serta beberapa rencana operasional. Pada masa itu terjadi penyebaran Islam ke Banten (sekitar 1525-1526) dengan penempatan putra Syarif Hidayatullah , yaitu Maulana Hasanuddin, setelah meruntuhkan pemerintahan Pucuk Unum, penguasa kadipaten dari kerajaan Sunda Pajajaran yang berkedudukan di Banten Girang. Setelah Islam, pusat pemerintahan Maulana Hasanuddin terletak di Surowan dekat muara Cibanten .Sudah jelas bahwa Syarif Hidayatullah memperluas wilayah dengan penyerangan daerah-daerah kecil untuk menyabarkan Islam. Ini penting untuk dilakukan supaya Islam dapat tersebar dengan cepat. Upaya ini juga untuk mendapatkan pengaruh yang kuat dari wilayah-wilayah lain di Jawa bagian barat. Pada suatu ketika Syarif Hidayatullah pergi ke Demak untuk membantu membangun masjid Demak. Syarif Hidayatullah menyumbang tiang masjid yang sekarang dikenal dengan Saka Guru. Ketika merujuk dari sumbangsi Syarif Hidayatullah dalam pembangunan masjid Demak, ini merupakan salah satu strategi dari Syarif Hidayatullah dalam melakukan hubungan abatar kerajaan. Karena pada waktu itu di Demak juga berdiri kerajaan yang besar dibawah pimpinan Raaden Patah. Hubungan ini dilakukan supaya eksistensi dari Cirebon dapat terjaga. Ketika berada di Demak dan juga para wali berkumpul, mungkin Syarif Hidayatullah menyempatkan untuk membahas maslah-masalah kerajaan-kerajaan yang masih belum terdapat agama Islam. Setibanya di Cirebon, Syarif Hidayatullah mengadakan rapat yang menghasilkan kebijakan politik, sikap politik kerajaan Cirebon terhadap kerajaan Pajajaran yaitu tidak bersedia lagi mengirim upeti (bulubhekti) kepada Pajajaran yang disalurkan melalui Adipati Galuh. Tindakan ini awalnya mendapat respon keras dari Prabu Siliwangi, akan tetapi kemudian Prabu Siliwangi seakan-akan membiarkan keputusan yang diambil oleh Syarif Hidayatullah. Karena Prabu Siliwangi menghindari perang saudara. Mungkin juga dikarenakan hubungan antara Cirebon dengan Demak yang semakin erat. Sehingga Prabu Siliwangi tidak dapat mengambil sikap keras. Sejak Syarif Hidayatullah bandar Cirebon makin ramai baik untuk berhubungan laut antar Persi-Mesir dan Arab, Cina, Campa dan lainnya . kepemimpina Syrif Hidayatullah yang juga seorang wali berhasil mempercepat perkembangan Cirebon sebagai syiar Islam dan juga perdagangan. Sunan Gunung Jati wafat pada tahun 1568 dan dimakamkan di Bukit Sembung yang juga dikenal dengan makam Gunung Jati. Kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu putra Pangeran Suwarga.

D.   Peristiwa penting

Perpecahan Kesultanan Cirebon

Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta yg bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tak berada di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa [anak dari Pangeran Abu Maali yg tewas dlm Perang Pagarage], beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo yg disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan. Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yg ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yg telah bekerja keras selama 10 tahun lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tak beraliansi lagi dengan Mataram.

Perpecahan I Kesultanan Cirebon [1677]

Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, & Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupaken babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga & masing-masing berkuasa & menurunkan para sultan berikutnya.

Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:

1.       Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin [1677-1703]

2.      Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin [1677-1723]

3.      Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati [1677-1713].

Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, & keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan [paguron], yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yg bisa memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

Perpecahan II Kesultanan Cirebon [1807]

Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV [1798-1803], dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit [Bahasa Belanda: surat keputusan] Gubernur-Jendral Hindia Belanda yg mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra & para penggantinya tak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran.

Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yg lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin [1803-1811].

Masa Kolonial Belanda di Cirebon

Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dlm ikut campur dlm mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 & 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon [Kota Cirebon], yg mencakup luas 1. 100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20. 000 jiwa. Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2. 450 hektar. Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yg tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dlm Kota Cirebon & Kabupaten Cirebon, yg secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota & bupati

E. Peninggalan Kerajaan Cirebon 

Posisi geografis kawasan nusantara di antara dua benua dan dua samudra menjadikan kawasan strategis untuk berinteraksi khususnya melalui perdagangan. Perdagangan interinsuler berkembang pesat di kawasan ini. Dampak lain dari komunikasi internasional ini adalah masuknya pengaruh tradisi besar ke kawasan nusantara. Pada sekitar abad ke-1 – 5 M Hindu-Buddha (India) memasuki kawasan ini yang kemudian disusul Islam pada abad ke-7 – 13 M. Tradisi Hindu-Buddha membawa perubahan pada aspek religi. Masyarakat yang semula merupakan pendukung tradisi megalitik menjadi penganut agama Hindu-Buddha. Pada awal abad ke-1 H atau sekitar abad ke-7 M, kawasan nusantara mulai mendapat sentuhan tradisi Islam melalui saluran perdagangan.

Di Jawa, sosialisasi Islam secara intensif baru berlangsung ketika pusat kekuatan politik Hindu-Buddha seperti Majapahit di Jawa Timur dan Kerajaan Sunda di Jawa Barat berakhir yang kemudian digantikan Kesultanan Demak di Jawa Tengah serta Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon di Jawa Barat. Beberapa sumber sejarah menyatakan bahwa antara Kesultanan Demak, Cirebon, dan Banten terdapat keterkaitan baik secara historis maupun genealogis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar